Tentara Uni Soviet dan AS Sampai Kocar-kacir Pulang ke Negaranya, Ternyata Ini Penyebab Sulitnya Taliban Dilibas di Afghanistan!

Rabu, 18 Agustus 2021 | 18:59
The Guardian

Tentara Uni Soviet dan AS Sampai Kocar-kacir Pulang ke Negaranya, Ternyata Ini Penyebab Sulitnya Taliban Dilibas di Afghanistan!

Sosok.ID - Beberapa waktu ini kelompok milisi Taliban di Afghanistan memang menjadi sorotan publik dunia.

Bukan tanpa alasan, hal itu lantaran kelompok bersenjata tersebut kini dikabarkan telah menguasai hampir seluruh wilayah di Afghanistan.

Bahkan karena insiden itu, banyak penduduk dan pejabat tinggi Afghanistas sampai kocar-kacir keluar negaranya.

Namun ada hal menarik dari insiden konflik yang telah berjalan belasan tahun di Afghanistan tersebut.

Baca Juga: Jadi Salah Satu yang Paling Dicari Dan Hanya Ditemukan Rekaman Suaranya, AKhirnya Sosok Juru Bicara Taliban Muncul Setelah Afghanistan Jatuh

Tak hanya buat tentara Amerika Serikat (AS) pulang kenegaranya, ternyata kelompok milisi Afghanistan ini juga pernah membuat Uni Soviet frustasi.

Hal itupun jadi sorotan banyak pihak bagaimana bisa kelompok tersebut menjelma menjadi kekuatan perang yang cukup mengerikan.

Buktinya pun kini kentara jelas saat Afghanistan akhirnya jatuh ke tangan mereka.

Lalu apa yang menyebabkan kelompok Taliban ini bisa begitu sulit untuk dikalahka?

Baca Juga: Taliban Makin Ganas Rebut Banyak Kota, Akhirnya Tentara Afghanista Buka Suara Penyebab Kekalahan Mereka: Pasukan Kami Disalahgunakan

Melansir dari BBC, Jumat (13/8/2021) setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan Taliban susah dikalahkan.

1. Kekuatan Taliban

Pemerintah Afghanistan seharusnya, secara teori, masih berada di atas angin dengan kekuatan lebih besar yang dimilikinya. Pasukan keamanan Afghanistan berjumlah lebih dari 300.000 orang setidaknya di atas kertas. Jumlah itu termasuk angkatan darat, udara, serta kepolisian Afghanistan.

Namun, kenyataannya negara ini selalu kepayahan dalam memenuhi target perekrutan anggota keamanan.

Tentara dan polisi Afghanistan punya riwayat buruk perihal kematian yang tinggi, desersi, serta korupsi.

Sejumlah komandan tak bermoral meminta anggaran yang diklaim untuk pasukannya, namun sebenarnya prajurit-prajurit itu tidak pernah ada. Praktik ini disebut "tentara hantu".

Dalam laporan terbarunya kepada Kongres AS, Inspektur Jenderal Khusus untuk Afghanistan (SIGAR) menyatakan, "Keprihatinan serius tentang efek korupsi yang merusak... dan pertanyaan keakuratan data mengenai kekuatan pasukan yang sebenarnya".

Baca Juga: AS Bukan Pemegang Militer Terhebat, Pasukan Taliban Buktikan Saat Buat Tentara Afghanistan yang Dilatih Amerika Kocar-kacir, Perang Saudara Pecah!

Jack Watling dari Royal United Services Institute mengatakan, bahkan Angkatan Darat Afghanistan tidak pernah yakin berapa banyak pasukan yang sebenarnya mereka miliki.

Menurut Pusat Pemberantasan Terorisme AS di West Point, ada perkiraan yang memperlihatkan kekuatan inti kelompok Taliban berjumlah 60.000 orang.

Dengan tambahan kelompok milisi dan pendukung lainnya, jumlah mereka bisa melebihi 200.000 personel.

Akan tetapi, Dr Mike Martin mantan perwira tentara Inggris yang menguasai bahasa Pashto dan menelusuri sejarah konflik di Helmand dalam bukunya, An Intimate War, memperingatkan terlalu berbahaya mendefinisikan Taliban sebagai satu kelompok monolitik.

2. Akses ke persenjataan

Sekali lagi, pemerintah Afghanistan sejatinya memiliki keuntungan baik dari segi pendanaan maupun persenjataan.

Mereka diguyur miliaran dollar AS guna membayar gaji dan peralatan pertahanan, yang sebagian besar diberikan Amerika Serikat.

Baca Juga: Pos Militer Perbatasan Lenyap, 46 Tentara Afghanistan Cari Perlindungan di Pakistan

Dalam laporan Juli 2021, SIGAR mengatakan, lebih dari 88 miliar dollar AS (Rp 1,26 kuadriliun) telah dihabiskan demi keamanan Afghanistan.

Akan tetapi, data tersebut menambahkan, "Pertanyaannya, apakah uang itu dihabiskan dengan baik, yang pada akhirnya, akan dijawab oleh apa yang dihasilkan dari pertempuran di lapangan."

Angkatan Udara Afghanistan harus membuktikan keunggulannya dalam situasi kritis di medan pertempuran.

Namun, mereka harus berjuang demi mempertahankan dan mengawaki 211 pesawatnya, di mana persoalannya makin parah, karena Taliban sengaja menargetkan para pilot.

Taliban sering kali mengandalkan pasokan dananya dari perdagangan narkoba, tetapi mereka juga mendapat dukungan dari luar - terutama Pakistan.

Tidak lama berselang Taliban menyita senjata dan peralatan dari pasukan keamanan Afghanistan - beberapa di antaranya dipasok AS - termasuk kendaraan Humvee, piranti teropong malam, senapan mesin, mortir dan peralatan artileri.

Afghanistan dibanjiri pasokan senjata setelah invasi Soviet, dan Taliban sudah menunjukkan dapat mengalahkan kekuatan yang jauh lebih canggih.

Bayangkan efek mematikan dari bom rakitan Improvised Explosive Device (IED) dengan target pasukan AS dan Inggris.

Faktor ini serta pengetahuan lokal dan pemahaman tentang medan perang, turut menjadi alasan kenapa Taliban susah terkalahkan.

Baca Juga: Afghanistan Jatuh ke Tangan Turki, Amerika Memilih Mundur

3. Fokus ke wilayah utara dan barat

Terlepas dari karakter kelompok Taliban yang berbeda, ada beberapa hal yang membuktikan bahwa mereka memiliki rencana terkoordinasi terkait kemajuan mereka belakangan ini.

Ben Barry, mantan pimpinan tentara Inggris dan saat ini menjadi penasihat senior di Institute of Strategic Studies, mengakui keuntungan Taliban mungkin bersifat oportunistik.

Meski begitu, dia menambahkan, "Jika Anda menulis rencana operasi, saya akan kesulitan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik dari ini."

Dia menunjuk fokus serangan Taliban di wilayah utara dan barat, padahal wilayah itu bukan kantong kekuatan tradisional mereka di selatan, yang mana beberapa ibu kota regional berturut-turut jatuh ke tangan mereka.

Taliban juga merebut kawasan penyeberangan perbatasan dan pos-pos pemeriksaan utama, yang memasok pendapatan bea cukai yang sangat dibutuhkan dari pemerintah Afghanistan karena minus anggaran.

Mereka juga meningkatkan target aksi pembunuhan terhadap para pejabat penting, aktivis hak asasi manusia, dan para jurnalis.

Perlahan tapi pasti mereka memusnahkan beberapa keuntungan kecil yang dibuat selama 20 tahun terakhir. (*)

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Sumber : BBC, The Guardian

Baca Lainnya