Dulu Jadi Tempat Favorit Untuk Liburan, TMII Ternyata Simpan Peristiwa Berdarah Saat Pembangunannya, Begini Kisahnya!

Senin, 12 April 2021 | 17:37
kolase kompas.com

Dulu Jadi Tempat Favorit Untuk Liburan, TMII Ternyata Simpan Peristiwa Berdarah Saat Pembangunannya, Begini Kisahnya!

Sosok.ID - Masih lekat di benak kita miniatur pulau-pulau di Indonesia yang terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Tempat rekreasi keluarga ini memang pernah menjadi destinasi liburan favorit di Jakarta.

Tak dapat dipungkiri kemegahan dan keberagaman budaya Indonesia disajikan di sana menjadi daya tarik tersendiri.

Namun siapa sangka ada peristiwa berdarah yang melingkupi kisah pembangunan TMII tersebut.

Baca Juga: Mayangsari Makin Gigit Jari Tak Dapat Bagian Warisan Mertua, Kini Setelah 44 Tahun Dikelola Yayasan Keluarga Soeharto, TMMI Diambil Alih Negara, Begini Kronologinya!

Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang merupakan salah satu objek wisata favorit Ibu Kota saat ini, ternyata tidak berjalan mulus.

Proyek yang dulunya disebut dengan nama Miniatur Indonesia Indah (MII) ini diproyeksikan membutuhkan dana sebesar Rp10,5 miliar.

MII digagas oleh istri Presiden Soeharto, Tien Soeharto, pada 1971.

Tien terinspirasi dari Thai-in-Miniature di Thailand dan Disneyland di Amerika Serikat, yang mempromosikan kebudayaan dan pariwisata kedua negara tersebut, seperti dilansir historia.id.

Baca Juga: Bak Ketiban Durian Runtuh, Nasib Artis Ini Berbanding Terbalik dengan Mayangsari, Bermula Hanya Jadi Pembantu di Sinetron Kini Diakui Sebagai Anggota Keluarga Cendana!

"Setelah mengunjungi kedua tempat tersebut, Tien Soeharto menginginkan agar di Indonesia terdapat suatu objek wisata yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air Indonesia dalam bentuk mini di atas sebidang tanah yang cukup luas,” tulis Suradi H.P. dkk., dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah.

Penolakan terhadap pembangunan MII Gelombang penolakan terhadap proyek tersebut muncul dari kalangan mahasiswa yang menganggap MII hanyalah proyek buang-buang uang semata.

Mereka menamai diri "Gerakan Penghematan".

Melansir dari Harian Kompas, Gerakan Penghematan mengatakan bahwa biaya Rp10,5 miliar itu sama dengan biaya yang bisa digunakan untuk membangun tujuh buah kampus sebesar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Baca Juga: Dianggap Sebagai Pemimpin Otoriter, Begini Pengalaman Komedian Ini Saat Melawak di Depan Soeharto, Bagito: Honor Rp 17,5 Juta Dibungkus Koran

"Setiap tahun kita berusaha mencari pinjaman uang dan kalau uang itu tidak ditanamkan pada proyek-proyek yang produktif, maka di masa depan kita bukannya mendapat pabrik-pabrik yang menghasilkan, melainkan hutang-hutang yang makin lama makin besar bunganya," ujar gerakan tersebut.

Peristiwa berdarah

Kelompok lain dari Gerakan Penyelamat Uang Rakyat juga melancarkan aksi protes dengan menyambangi gedung sekretariat proyek MII di Jalan Matraman Raya pada 23 Desember 1971.

Mereka membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara”.

Tak lama setelah aksi bentang spanduk tersebut, sekelompok orang tak dikenal sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam dan menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.

Baca Juga: Dikenal Tak Banyak Bicara, Sosok Ini Ternyata Dijuluki Raja Intelijen Indonesia, Pernah Selundupkan 2.000 Senjata ke Afganistan Sampai Bawa Pulang Jet Tempur dari Israel Tanpa Ketahuan!

"(Anggota kelompok tak dikenal ini) menyerang para delegasi yang sedang duduk di tangga dengan membabi buta. Tidak lama kemudian terdengar tembakan. Rupanya tembakan ini berasal dari salah seorang anggota penyerang," tulis Harian Kompas.

"Setelah menambak dan menusuk, para penyerang tersebut melarikan diri ke arah selatan gedung. Tembakan yang dilepaskan lebih kurang sepuluh kali."

Akibat kejadian tersebut, tiga orang peserta gerakan luka-luka, dua di antaranya terkena tusukan belati dan rencong.

Sementara itu, seorang lainnya terkena tembakan peluru di pahanya. Gelombang protes semakin masif Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat tersebut lantas menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII.

Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Baca Juga: Jokowi Bukan yang Pertama, Blusukan Ternyata Sudah Dilakukan Oleh Soeharto, Termasuk Nyamar dan Tinggal di Rumah Warga Hingga Buat Pejabat Panik, Ini Kisahnya!

Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan, menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII.

Memasuki tahun 1972, gerakan-gerakan menentang pembangunan MII kian gencar.

Pendukung gerakan ini pun semakin masif. Kalangan seniman dan intelektual seperti W.S. Rendra, Arief Budiman, H.J.C. Princen (Poncke), dan Mocthar Lubis ikut tergabung dalam aksi protes.

“Taufan protes-protes terhadap proyek mini Indonesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita,” tulis Mochtar Lubis di Indonesia Raya, 13 Januari 1972, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mocthar Lubis Seri 1.

Ancaman Soeharto

Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan penentang MII mulai dapat tanggapan dari presiden, yang menilai aksi protes tersebut tidak substansial, agresif, dan keluar batas.

Soeharto juga menduga ada "Mister X" yang menunggangi protes tersebut dan punya tujuan lain di baliknya.

Baca Juga: Taktik Operasi Brilian Soeharto, Sempat Sukses Sembunyikan Presiden Kamboja Hingga Selundupkan Ribuan AK-47 Hanya dengan Pesawat Komersial, Begini Kisahnya!

“Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu issue politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional,” kata Soeharto pada 6 Januari 1972, dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Soeharto memperingatkan gerakan penentang MII agar tidak berperilaku di luar batas.

Dia mengancam akan menghantam gerakan itu jika berniat menggulingkan kekuasaannya.

“Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar,” kata Soeharto dikutip Mahasiswa Indonesia, 9 Januari 1972.

Baca Juga: Patung Kristus 89 Kaki Diukir Muslim Indonesia Fenomenal di Dili, Hadiah dari Soeharto untuk Timor Leste, Rakyatnya malah Marah karena Bangunan Itu Menghadap ke Jakarta

Tentara bertindak Ancaman Soeharto kemudian menjadi nyata pada 17 Januari 1972.

Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII.

Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke.

“Kenapa dilarang, alasannya adalah karena katanya mereka-mereka itu dengan nyata telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban umum, demokrasi menurut UUD '45 serta wibawa pemerintah dan stabilitas pemerintah,” tulis Mahasiswa Indonesia, 23 Januari 1972.

MII akhirnya dibangun setelah mendapat lampu hijau dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972. Dan pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah.

(*)

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya