Sosok.ID - Belum lama ini Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk menyampaikan kritiknya kepada pemerintah.
Setelah itu, masyarakat ramai menyinggung mengenai buzzer.
Banyak yang meyakini bahwa pemerintah memiliki pendengung atau buzzer di sosial media yang bertujuan membatasi kebebasan beroipini dan kritik masyarakat mengenai isu-isu pemerintahan.
Meskipun tidak secara langsung menyebut kalimat buzzer, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki fatwa yang mengharamkan aktivitas adu domba, hingga memfitnah di media sosial.
Dalam acara iNews Sore, Sabtu (13/2/2021), Ketua MUI Cholil Nafis mengiyakan bahwa buzzer dalam hal negatif memang diharamkan dalam fatwa MUI.
Cholil mulanya menjelaskan bahwa kalimat buzzer memang tidak ditulis dalam Fatwa Nomor 24 Tahun 2017.
Fatwa tersebut berisi tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos.
Seiring berjalannya waktu, Cholil menyampaikan, seorang buzzer bisa dimasukkan dalam Fatwa tersebut.
Baca Juga: Indonesia Rayakan HUT Kemerdekaan ke 75, Rocky Gerung Terbahak-bahak: Dirgahayulah Buzzer!!
"Ternyata dalam perkembangan waktu, buzzer itu salah satunya," kata dia.
Cholil lalu menjelaskan definisi buzzer berdasarkan MUI yang merupakan pem-bully, pemfitnah, mengadu domba, hingga menyebar aib orang yang tidak disenangi atau lawan mereka.
"Itu nyata ada," ujarnya.
"Oleh karena itu, buzzer itu adalah bagian yang menyebarkan fitnah, itu yang diharamkan."
Cholil menjelaskan, buzzer berbeda dengan influencer yang bergerak menyebarkan hal-hal positif.
Ia lalu mencontohkan influencer yang mempromosikan program vaksinasi hingga kebersihan.
Cholil mengatakan, semuanya tergantung dari aktivitas buzzer yang bersangkutan apakah negatif atau positif.
Jika buzzer mendapat bayaran untuk memfitnah dan mengadu domba, Cholil menyebut, mereka layaknya memakan bangkai saudaranya sendiri.
"Jadi sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri yang sudah mati, itu kata Al-Quran," pungkasnya.
Buzzer Digerakkan Banyak Aktor
Sementara itu, Dewan Pers Arif Zulkifli menduga bahwa buzzer tidak dikendalikan oleh pemerintah melainkan aktor-aktor tertentu.
Hal itu diungkapkan oleh Arif dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Kamis (11/2/2021).
Mulanya Arif menegaskan kritik yang dilakukan oleh pers adalah hal yang lumrah.
"Pers bukan memusuhi pemerintah tapi pers ingin agar jalannya pemerintahan itu berlangsung sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh publik, berada di rel yang benar," terangnya.
Berkaca pada pemerintahan Presiden Jokowi, Arif mengaku saat ini pers sudah tidak lagi menerima telepon langsung dari pemerintah apabila mengkritik pemerintah.
Arif menyebut, hal yang menjadi permasalahan adalah keberadaan buzzer yang kerap menyerang pers jika mengkritisi pemerintah.
"Yang menjadi persoalan adalah kehadiran para pendengung yang kerap kali berseberangan dengan pers dan membela pemerintah," ujar dia.
Arif memaparkan, ada dua masalah terkait buzzer, pertama adalah identitas para buzzer.
"Umumnya buzzer adalah anonim, jadi kita tidak pernah tahu siapa," ungkapnya.
Masalah kedua, para buzzer kerap menyerang hal-hal personal atau pribadi pihak yang mengkritisi pemerintah.
"Mereka tidak pernah mau, bersedia atau punya kapasitas untuk mempersoalkan materi kritiknya," kata Arif.
Arif mengatakan, keberadaan buzzer ini dapat membuat para wartawan enggan melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, termasuk mengawasi berjalannya pemerintahan.
Meskipun buzzer selalu dikaitkan dengan pemerintah, Arif mengakui sampai saat ini belum ada bukti bahwa pemerintah betul-betul menggerakkan buzzer secara terstruktur.
"Kita tidak pernah punya bukti yang keras dan tegas bahwa para buzzer diorkestrasi secara formal oleh pemerintah," papar Arif.
Arif lalu membahas soal sosok penggerak buzzer. Ia menduga buzzer bukan digerakkan oleh pemerintah secara utuh.
Arif meyakini tidak ada pemerintah yang utuh solid sebagai satu kesatuan di negara manapun.
Berdasarkan analisanya, ada perebutan kekuasaan atau power struggling di dalam tubuh pemerintah.
Lalu buzzer digerakkan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam power struggling tersebut.
"Dia bekerja untuk unit-unit atau orang-orang atau aktor-aktor, mereka yang terlibat dalam power struggling itu," jelas Arif.
Arif mengatakan, power struggling memiliki sejumlah tujuan, mulai dari perebutan posisi tertentu dalam tubuh pemerintahan hingga demi mendekati RI 1.
"Tidak adil kalau buzzer ini diasosiasikan langsung kepada pemerintah," kata dia.
Meskipun buzzer tidak bisa dikaitkan langsung dengan pemerintahan, Arif menyebut pemerintah tetap harus bertanggung jawab terhadap para buzzer dengan menegakkan hukum seadil-adilnya.
(TribunWow.com/Anung)