Sosok.ID - Sebuah sejarah baru terjadi dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020 ini.
Meskipun penghitungan suara masih berjalan, namun hasil pemungutan telah menunjukkan Joe Biden bakal jadi pemimpin negara Adidaya yang baru.
Namun hal tak terduga terjadi saat Trump enggan mengakui hasil dari Pilpres tersebut.
Bahkan banyak jalur hukum akan ditempuh oleh suami dari Melania Trump tersebut untuk mempertahankan jabatannya.
Kini tindakan terbaru dalam mempertahankan posisi, Trump memilih untuk tetap berdiam di Gedung Putih.
Hal itupun jadi sorotan publik AS dan dunia lantaran baru pertama kalinya terjadi.
Transisi perpindahan kepemimpinan yang telah berjalan secara damai di AS tersebut kini terancam rusak.
Melansir dari Reuters, Senin (9/11/2020), seorang pakar keamanan nasional mengungkapkan bagaimana mekanisme resmi perpindahan kekuasaan bila Joe Biden dinyatakan menang pemilu.
Pemilihan presiden (pilpres) AS sebenarnya belum berakhir secara resmi.
Para Electoral College (Dewan Elektoral) baru akan bersidang pada 14 Desember untuk memberikan suara mereka secara resmi.
Kongres yang baru saja terpilih dalam pemilu AS akan menerima hasil dari Electoral College pada 6 Januari.
Jika Joe Biden memenangi pemilihan Electoral College, seperti yang diproyeksikan, dia akan dilantik pada siang hari pada 20 Januari 2021.
Kini, menurut penghitungan Associated Press, Biden menggamit 290 electoral vote (suara elektoral), melampaui 270 suara elektoral yang dibutuhkan untuk melenggang ke Gedung Putih.
Ternyata dalam sistem konstitusi AS, ada kemungkinan bila Trump nekat akan bisa menghambat kekuasaan Biden bila terpilih nanti.
Melalui Undang-Undang (UU) Transisi Presiden yang diundangkan pada 1963, pegawai negeri sipil (PNS) menjadi posisi penting untuk transfer kekuasaan.
Mereka menghadapi tenggat waktu untuk memberikan data dan akses kepada pejabat yang masuk.
Dalam UU tersebut seharusnya proses transisi berubah menjadi sangat cepat setelah agen federal bernama Administrasi Layanan Umum AS (GSA) atau pengelola resmi Gedung Putih bertindak.
GSA akan bisa membantu proses transisi cepat bila mereka dengan cepat pula menunuk pemenang pemilu.
Pada saat itu, tim presiden yang akan datang dapat memperoleh buku pengarahan, memanfaatkan dana, dan mengirim perwakilan untuk mengunjungi lembaga pemerintah.
Pada Minggu (8/11/2020), para ahli transisi mengirim surat kepada administrator GSA, Emily Murphy, mendesaknya untuk mengakui Biden sebagai pemenang.
“Meskipun akan ada sengketa hukum yang membutuhkan ajudikasi, hasilnya cukup jelas bahwa proses transisi sekarang harus dimulai,” kata surat dari Pusat Transisi Presiden.
GSA mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (7/11/2020) bahwa pihaknya masih memastikan kandidat yang menang berdasarkan proses yang ditetapkan dalam Konstitusi.
Terbaru, dua purnawirawan tentara AS mengungkapkan bahwa ada kemungkinan militer AS bisa secara paksa mengusir Trump dari Gedung Putih.
Kemungkinan tersebut menyeruak melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada jenderal tertinggi AS, Mark Milley, pada Agustus.
"Jika Donald Trump menolak untuk meninggalkan jabatan setelah berakhirnya masa jabatan konstitusionalnya, militer AS harus memecatnya dengan paksa, dan Anda harus memberikan perintah itu," kata surat yang diterbitkan di Defense One.
Hal itu diungkapkan oleh dua purnawirawan militer bernama John Nagl dan Paul Yingling melalui surat yang ia tulis.
Pasalnya, mengutip prinsip dasar hukum AS, bahwa personel militer harus menghindari masalah penegakan hukum domestik.
"Kita memiliki proses konstitusional untuk menangani ini, dan militer tidak ada di dalamnya," kata Kori Schake, Direktur Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan di American Enterprise Institute.
Chesney menambahkan jika Trump benar-benar menolak meninggalkan Gedung Putih, pada 20 Januari dia akan menjadi penyusup.
"Agen Rahasia akan datang dan mengawal dia keluar," kata Chesney.
(*)