Sosok.ID - Gelombang aksi demonstrasi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law memang sedang terjadi di berbagai kota.
Bahkan pada Selasa (13/10/2020) ini kembali gelombang unjuk rasa digelar demi menolak UU tersebut.
Kali ini sejumlah elemen yang terdiri dari PA 212, GNPF Ulama, FPI dan HRS Center serta sejumlah ormas menggelar demo di Jakarta.
Menanggapi hal itu, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan SH. MHum mengatakan, Negara bisa mengambil sikap otoriter demi mengamankan kepentingan yang lebih besar dalam menghadapi aksi demonstrasi yang diwarnai praktik anarkisme.
Menurutnya, negara kini harus mulai mengambil sikap lebih tegas pada para demonstran.
Hal tersebut melihat dari kepentingan yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia.
"Negara harus tegas menghadapi aksi-aksi anarkisme dalam demonstrasi, bisa saja bersikap otoriter untuk kepentingan publik yang lebih besar, itu boleh saja dilakukan," katanya ketika dihubungi di Kupang, Senin (12/10/2020).
Ungkapan tersebut setelah banyak unjuk rasa di berbagai wilayah berujung ricuh dan menimbulkan kekerasan serta perusakan.
Sikap otoriter yang dimaksudkan oleh Johanes bukan untuk melindungi kepentingan penguasa.
Ia lebih melihat kepada kepentingan umum yang terhambat lantaran insiden anarkisme yang timbul dari aksi unjuk rasa tersebut.
"Walaupun secara politik itu merugikan tetapi tindakan otoriter, represif, diperlukan untuk mencegah kerusakan-kerusakan," katanya.
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan pemerintah sudah membangun berbagai fasilitas publik dengan biaya yang mahal lalu seketika dirusak segelintir orang tentu sangat merugikan banyak orang.
Baca Juga: Kini Timbulkan Demo Sampai Ricuh, Ternyata Sosok Ini Disebut Sebagai Pencetusnya!
Pemerintah harus menganggarkan kembali untuk perbaikan fasilitas tersebut, sementara masih banyak pembangunan di daerah lain yang belum terjangkau, katanya.
"Sehingga harus ditindak tegas sampai -- kalau aturan memperbolehkan-- tindakan lebih tegas berupa penegakan hukum dengan menangkap dan memproses pelaku sampai kepada dalang dari kegiatan demonstrasi," katanya.
Johanes Tuba juga mengungkapkan bahwa aksi unjuk rasa tersebut tidak murni demi kepentingan buruh.
"Saya mengamati demonstrasi di berbagai daerah tidak lagi murni sebagai sebuah gerakan yang lahir dari kesadaran kolektif rakyat untuk memperjuangkan aspirasi," katanya ketika dihubungi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin.
Ia mengatakan hal itu menanggapi demonstrasi di berbagai daerah di Tanah Air untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI.
Tuba Helan mengatakan demonstrasi tersebut sudah tidak murni memperjuangkan sebuah aspirasi karena orang yang berdemo tidak mengetahui hakikat dari aspirasi yang diperjuangkan.
"Ada pendemo yang diwawancarai, ketika ditanya kenapa melakukan demo mereka hanya jawab karena merugikan, lalu ditanya ketentuan mana yang merugikan mereka tidak tahu yang penting merugikan," katanya.
"Di sisi lain ada pendemo yang mengaku dibayar untuk hadir mengikuti demonstrasi sehingga menurut saya aksi ini tidak lagi murni," kata Tuba Helan.
Lebih lanjut, Johanes Tuba melihat ada kepentingan elit yang tidak bisa diperjuangankan melalui jalur konstitusional hingga menggunakan cara semacam ini.
"Sebenarnya sudah ada jalur yang tersedia yaitu judicial review di Mahkamah Konstitusi kalau merasa dirugikan supaya demokrasi kita berjalan tertib dan aman, tapi ini kok malah anarkis, merusak berbagai fasilitas publik," katanya.
(*)