Sosok.ID - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menyatakan dukungannya untuk putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Fahri bahkan dengan tegas menepis tudingan-tudingan yang dilayangkan kepada Presiden Jokowi.
Menurut Fahri, Jokowi tidak sedang membangun dinasti politik seperti apa yang dicurigai banyak orang.
Seperti diketahui, Gibran selaku putra sulung dari orang nomor satu di Indonesia bakal maju dalam Pilkada Desember mendatang.
Gibran diusung oleh PDI-Perjuangan (PDI-P) untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, dipasangkan dengan Teguh Prakoso.
Sementara di sisi lain, menantu Jokowi Bobby Afif Nasution juga maju di Pilkada Medan, Sumatera Utara.
Diusungnya anak dan menantu Jokowi ini lantas memunculkan asumsi bahwa Jokowi sedang berupaya membangun dinasti politik.
Dukungan Partai Gelora untuk Gibran-Teguh pun sontak menuai pro dan kontra.
Terlebih Fahri dikenal sebagai sosok yang vokal mengkritisi kebijakan pemerintahan Jokowi.
Dikutip dari Tribunnews.com, Sabtu (19/9/2020), Fahri mengatakan dukungan Partai Gelora untuk anak dan menantu Jokowi bukan berarti melanggengkan upaya membangun dinasti politik.
Sebab dalam terminologi negara demokrasi, kata Fahri, dinasti politik tidak akan ada.
"Dalam negara demokrasi tidak akan terjadi dinasti politik, sebab kekuasaan demokratis tidak diwariskan melalui darah secara turun temurun," kata Fahri.
"Tapi dia dipilih melalui prosesi politik, orang yang masuk prosesi politik itu, belum tentu menang dan belum tentu juga kalah," lanjutnya.
Lebih lanjut menurut Fahri, dinasti politik hanyalah sebuah simbol sepertipa yang terjadi di Inggris, dimana pemerintahan dibentuk melalui proses demokratis berdasarkan hasil pemilu.
"Suara rakyat disahkan oleh raja. Dinasti Windsor yang berkuasa di Inggris di kerangkeng hanya sebagai simbol saja," paparnya.
Fahri lantas mencotohkan kasus dinasti politik yang pernah terjadi di Indonesia, yakni saat kekuasaan diturunkan melalui darah seorang raja.
Seperti pada masa Kerajaan Mataram kuno yang dipimpin Syailendra, Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram baru yang dipimpin Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).
Sedangkan di Indonesia sendiri, satu-satunya yang masih menerapkan dinasti politik adalah Yogyakarta, sisanya dilakukan melalui proses demokrasi berdasarkan keinginan rakyat.
"Kalau sekarang di Indonesia, satu-satunya dinasti politik yang tersisa, ya Dinasti Hamengkubowono di Yogyakarta sebagai kelanjutan Kerajaan Mataram baru.
"Itupun kekuasaanya disamakan dengan gubernur, harusnya dinasti itu dipertahankan sebagai kekuatan simbol saja, tidak perlu diberi kekuasaan yang bertanggungjawab publik," ujar Fahri.
Sikap Partai Gelora Indonesia mendukung Gibran dan Bobby menuai beragam reaksi.
Sebagai partai baru dan terbuka, Fahri menuturkan bahwa partainya dapat berkolaborasi dengan siapa saja, juga dapat menentukan dukungan untuk siapa saja di Pilkada.
Kebanyakan orang yang bersikap kontra menilai Partai Gelora ikut andil melanggengkan dinasti politik Presiden Jokowi.
Ia pun lantas menanyakan apakah orang-orang yang kontra paham arti dinasti politik dan oligarki atau hanya sekedar melampiaskan kemarahannya pada Jokowi.
"Saya berdebat dengan orang-orang yang mempersoalkan, anda ngerti nggak sih arti dinasti sebagai konsepsi politik?
"Lalu, saya tanya lagi anda ngerti nggak oligarki sebagai konsepsi politik? anda pasti nggga baca itu teori-teori terminologi dinasti politik," katanya.
Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini memaklumi ketidakmengertian orang-orang tentang dinasti politik.
Menurutnya, hal itu terjadi karena terlalu banyak membaca tentang terminologi dinasti politik di sosial media tanpa memahami teori terminologi sebenarnya.
Ketidakpahaman yang terus-menerus digaungkan itu berpindah dari satu mulut ke mulut lain dan menjadi ketidakmengertian secara luas.
"Akhirnya jadi percakapan di pingggir jalan, percakapan orang yang tidak berkualitas.
"Jadi orang bodoh itu, tidak hanya di istana, tapi juga dipinggir jalan karena tidak berkualitas. Inilah problem kita, harusnya ada otoritas yang memperbaiki terminologi di sosial media," katanya.
Ia pun meminta agar orang-orang tak tersulut sosial media, dan memahami pengertian terminologi dinasti politik sebenarnya.
Sebab jika tidak ada pemahaman, Fahri khawatir polemik dinasti politik akan menguras energi bangsa untuk sebuah perdebatan yang tidak perlu dilakukan.
"Jadi cara berpikirnya harus berdasarkan pada teks dan dasar pengertiannya harus teoritis.
"Jadi jangan karena kemarahan kepada seseorang (Jokowi), lalu mencomot terminology yang tidak bisa kita pertanggungjawabkan dihadapan dunia akademik dan juga dihadapan Allah SWT," pungkasnya. (*)