Sosok.ID -AgresivitasChina di kawasan Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan telah menyebabkan kekacauan.
Mau tak mau negara di kawasan tersebut berlomba-lomba memperkuat diri, salah satunya dengan meningkatkan senjata.
Hal ini memicu perlombaan senjata yang tak terbendung di negara-negara di kawasan tersebut.
Beberapa di antaranya bahkan seolah tak peduli dengan kesepakatan yang dibuat terkait pembuatan senjata-senjata tertentu.
Mereka seolah sadar bahwa mengikuti aturan tentang pembuatan senjata, sama saja membiarkan China semakin leluasa 'bertingkah' di Asia Pasifik.
Indonesia pun tak mau ketinggalan, sebuah proyek dengan kode "elang hitam" menjadi garda terdepan dalam perlombaan ini.
Elang Hitam diharapkan mampu menjadi andalan jika sudah berbicara tentang senjata-senjata asimetris.
Sebuah studi menyebutkan negara-negara di Asia-Pasifik sedang mengembangkan senjata batu nan canggih seperti drone dan rudal jelajah untuk mengimbangi agresivitas China.
"Meskipun proliferasi senjata canggih biasanya menjadi perhatian terkait eskalasi, rudal jelajah modern dan UAV [kendaraan udara tak berawak] saat ini dapat berfungsi sebagai senjata yang dapat digunakan negara-negara kecil untuk mencegah agresi dari negara-negara yang lebih besar," tulis Institute of Strategic Studies dalam kajiannya.
Namun, mereka juga memperingatkan bahwa penyebaran teknologi ini meningkatkan risiko untuk jatuh ke tangan teroris dan ekstremis.
Perjanjian internasional seperti Missile Technology Control Regime (MTCR) dirancang untuk membatasi pengembangan rudal balistik di wilayah tersebut.
Baca Juga: Capek-capek Gaet Simpati Negara ASEAN, AS Ditabok Fakta Asia Tenggara Ogah Memihaknya maupun China
Tetapi kajian tersebut mengatakan negara berkembang, banyak di antaranya bukan penandatangan MTCR, dapat bekerja sama untuk mengembangkan kemampuan ini.
Menurut Zhao Tong, seorang peneliti di Carnegie-Tsinghua Center for Global, China adalah pemimpin dunia dalam teknologi rudal dan drone.
Zhao juga menilai meningkatnya permintaan untuk senjata-senjata ini sebagian merupakan tanggapan atas kekuatan Beijing yang meningkat dan lingkungan keamanan yang memburuk di daerah tersebut.
“Negara-negara ini tidak mampu mengembangkan sistem pertahanan rudal,” kata Zhao.
"Jadi untuk menjaga semacam pencegahan strategis atau sebagai alat anti-akses, mereka cenderung mengembangkan beberapa senjata serangan asimetris dengan ambang teknologi yang lebih rendah, seperti rudal jelajah atau drone."
MTCR bertujuan untuk mengekang proliferasi dengan membatasi penjualan rudal jelajah internasional pada senjata dengan jangkauan 300 km (186 mil) atau kurang dan muatan di bawah 500 kg (1.100 lb).
Namun, aturan ini tidak menghentikan negara-negara mengembangkan senjata mereka sendiri dengan kapasitas yang lebih besar.
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan telah mengembangkan rudal yang melebihi batas ini.
Sementara Indonesia, Malaysia, dan Vietnam juga ingin memiliki rudal mereka sendiri.
Haeseong III milik Korea Selatan memiliki jangkauan 1.500 km, dan awal tahun ini Taiwan menguji coba rudal jelajah Yun Feng yang memiliki jangkauan serupa.
Rudal Jepang saat ini memiliki jangkauan kurang dari 500 km tetapi sedang mengerjakan rudal anti-kapal hipersonik sebagai calon penangkal kapal induk generasi berikutnya yang sedang dibangun China.
Meskipun sebagian besar negara berkembang di kawasan ini masih perlu membeli UAV untuk keperluan militer, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja semuanya sudah mulai mengembangkan industri drone domestik mereka.
Beberapa sudah memulai penelitian dan pengembangan drone militer dalam negeri, misalnya Indonesia yang diperkirakan akan mulai memproduksi drone tempur Elang Hitam dalam empat tahun ke depan. (*)
Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Termasuk Indonesia, negara-negara di Asia Pasifik berlomba membuat senjata canggih".