Tinggal Menunggu Ajal di Kamp Kerja Paksa Korea Utara, Wanita Malang Ini Akhirnya Bisa Kalahkan Kim Jong Un dan Buka Borok Pemimpin Korut yang Telah Bunuh 25 juta Orang

Minggu, 02 Agustus 2020 | 16:35
Kolase Metro/The Sun

Tinggal Menunggu Ajal di Kamp Kerja Paksa Korea Utara, Wanita Malang Ini Akhirnya Bisa Kalahkan Kim Jong Un dan Buka Borok Pemimpin Korut yang Telah Bunuh 25 juta Orang

Sosok.ID - Dunia internasional baru-baru ini digemparkan oleh seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) wanita di Inggris.

Wanita kelahiran Korea Utara tersebut mengungkapkan perjalanan hidupnya yang begitu parah saat masih tinggal di negara komunis tersebut.

Bahkan perempuan tiga anak ini bisa dikatakan satu-satunya orang yang bisa keluar dari tempat paling mengerikan di Korea Utara.

Tak hanya keluar dari tempat yang dijadikan kuburan massal bagi pembelot Korea Utara tersebut, wanita bernama Jihyun Park juga berhasil kabur hingga sampai di Inggris.

Petualangan hidup mengerikan yang dialami oleh Park ini menggemparkan banyak orang di dunia internasional setelah ia menuturkannya pada The Sun.

Baca Juga: China dan Rusia Marah Besar, Jepang Ingkari Perjanjian Usai Perang Dunia II Tentang Senjata Jarak Jauh, Kini Rencanakan Senjata Jarak Jauh yang Bisa Jangkau Korea Utara

Park pun mengungkap sejatinya siapakah Kim Jong Un tersebut yang ia katakan bukan seorang pemimpin melainkan pembunuh berdarah dingin.

Wanita yang juga pernah terjerumus di dunia perdagangan manusia tersebut mengatakan Kim Jong Un telah membunuh puluhan juta rakyat Korea Utara.

Lebih tepatnya Park mengungkap bahwa Kim Jong Un disebutnya membunuh 25 juta orang di Korea Utara.

" Kim Jong Un adalah seorang pembunuh dan dia telah membunuh banyak orang," ujar Jihyun Park. "Dia sedang membunuh 25 juta orang di Korea Utara, kita harus ingat itu."

Awal petualangannya bermula pada tahun 1990-an dimana dirinya menyaksikan sang paman meninggal secara tragis.

Baca Juga: Dari Diperkosa hingga Dipaksa Lakukan Aborsi oleh Petugas, Inilah Kisah Pilu para Wanita di Korea Utara yang Masuk Penjara

Bahkan tubuh pamannya tersebut hanya tulang berbalut kulit yang terkapar di tepi jalanan lantaran kelaparan.

Park dibesarkan di kota Chongjin, bagian Utara Provinsi Hamgyung, Korea Utara.

Melihat kejadian yang mengerikan di negara kelahirannya lantaran banyak kematian disebabkan oleh kelaparan tersebut membuat Park berpikir untuk membawa sang adik laki-laki keluar dari Korea Utara.

"Harapan terakhir ayah saya adalah menyelamatkan adik laki-laki saya," ujar Park, "Suatu hari dia terbangun dan memberi isyarat kepada saya agar saya pergi."

"Itulah alasan mengapa saya melarikan diri dari Korea Utara."

Baca Juga: Tak Gunakan Masker, Warga Korea Utara Bakal Dihukum Kerja Paksa Selama 3 Bulan oleh Kim Jong Un

Orang tua Park juga meninggal dunia lantaran kelaparan yang melanda Korea Utara saat itu sangat mengerikan.

Park bisa keluar dari Korea Utara menuju China dengan bantuan seorang pria yang ternyata adalah pelaku perdagangan manusia.

Sesampainya di China ia dipisahkan dengan sang adik laki-laki dan dijual pada pria China seharga 5.000 yuan atau hanya sekitar Rp 1 juta kala itu.

"Saya dijual dan dipisahkan dari adik saya. Dia dikirim kembali ke Korea Utara. Sampai saat ini saya tidak tahu apakah dia hidup atau mati. Saya dijual ke seorang pria China seharga 5.000 yuan," ujar Park.

Dari perbudakan tersebut ia memiliki seorang anak laki-laki, tetapi harus terpisah saat sang anak berusia 5 tahun lantaran kepolisian China menangkapnya dan mengirimnya ke negara asalnya.

Baca Juga: Negara Paling Tertutup Sedunia Kini Telah Darurat Covid-19, Pemimpin Korea Utara Beri Hukuman Sadis Bagi Warga Tak Kenakan Masker, Ini Hukumannya!

Kembali ke tanah airnya, Jihyun Park dimasukkan ke pusat penahanan dan kamp kerja paksa negara itu.

Puluhan tahanan dijejalkan ke sel lembab tanpa listrik atau toilet (hanya ada sebuah ember untuk buang hajat).

"Bau di sana mengerikan. Di pagi hari, area ember itu menjijikkan karena tidak ada cahaya."

Kondisi mengerikan itu ditambah dengan para tahanan yang diserang kutu, para wanita yang tidak boleh memakai pembalut dan sebagai gantinya menggunakan robekan kain yang tak boleh dicuci.

Tempat Park berada adalah kamp kerja paksa Chongjin, tidak jauh dari tempat asalnya.

Baca Juga: Dugaan Kasus Covid-19 Dilaporkan Korea Utara untuk yang Pertama Kalinya, Pasien Ditemukan di Kota yang Berbatasan Langsung dengan Korea Selatan

"Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Kami tidak dianggap manusia. Kami bekerja menggunakan tangan dan kaki kami tidak memakai alas."

Namun keajaiban awal terjadi saat dirinya mengalami sakit di bagian kaki hingga membuat petugas kamp membuangnya keluar lantaran dianggap akan mati dalam waktu dekat.

Dengan usaha keras ia akhirnya bisa melarikan diri ke China kembali dan mencari sang anak.

Agar tak lagi tertangkap oleh otoritas setempat dan dikembalikan lagi ke Korea Utara, Park berencana pergi ke negara ketiga.

Tujuan awal mereka adala Mongolia, hingga akhirnya bertemu dengan pria yang menolongnya bisa menyeberangi perbatasan dan kini jadi suaminya.

Baca Juga: Pimpinan Korea Utara Malah Enak-enakan Makan Keju Swiss, Padahal Rakyatnya Krisis Makanan Hingga Dipaksa Makan Tempurung Kura-kura, Begini Faktanya!

Setelah sukses melarikan diri, Jihyun Park, putranya dan pria yang menolongnya membangun hidup bersama di Mongolia.

"Dia pria yang sangat baik, saya jatuh cinta dengannya. Itu pertama kalinya saya jatuh cinta."

Setelah bertahun-tahun hidup di Mongolia dan China, mereka tiba di Inggris pada 2008.

Baca Juga: Presiden Dituding Bangun Dinasti Politik gegara Gibran Nyalon Pilkada, PDIP: Wali Kota Solo Diputuskan Rakyat, Bukan Jokowi Apalagi Partai!

Di Inggris, Jihyun Park dan suaminya serta 3 anaknya hidup bahagia di kota Manchester.

Park bekerja sebagai aktivis HAM dan bekerja juga bersama Connect, sebuah organisasi yang mendukung pengungsi Korea Utara untuk tinggal di Inggris. (*)

Tag

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Sumber The Sun