Sosok.ID- Harapan ditemukannya vaksin Covid-19 kian meninggi, sebab kasus infeksi di seluruh dunia telah mencapai angka 15 juta.
Para ilmuwanberlomba-lombamembuat vaksin demi menghentikanpandemiCovid-19 yang disebabkan virus Sars-CoV-2.
Untuk diketahui, virus yang pertama kali berasal dari kota Wuhan di China ini telah menyerang 181 negara.
China sebagai negara yang dijadikan sorotan karena tempat virus berasal, tentu saja, juga mengembangkan vaksin untuk melawan pandemi global ini.
Kendati demikian,siapa sangka warga Chinamungkin akan menjadi yang terakhir menggunakan vaksin yang dikembangkan negara mereka sendiri.
Hal tersebut muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin setelah terjadi skandal oleh perusahaan vaksin di China beberapa tahun lalu.
Skandal besar itu terjadi di tahun 2018, yang kemudian membuat kepercayaan masyarakat lokal menurun.
Investigasi yang dilansir dari South China Morning Post menemukan perusahaan vaksin terkemuka, Changchun Changsheng Biotechnology telah dengan sengaja membuat produk vaksin yang kedaluwarsa.
Tidak hanya itu, mereka juga melaporkan hasil yang difabrikasi mengenai pembuatan vaksin rabies pada tahun 2018 silam.
Perusahaan yang berada di provinsi Jilin, China tersebut mendapat gugatan sebesar 1.3 milyar Dolar Amerika pada Oktober tahun lalu.
Skandal tersebut dibicarakan pada media sosial China dan menjadi debat heboh yang setelah dihimpun oleh tim ilmuwan Amerika, ditemukan lebih dari 11 ribu pesan mengenai kepercayaan rakyat terhadap vaksin.
Bahkan, semenjak insiden tersebut rakyat juga tidak percaya dengan pemerintah mereka.
Kini, perdebatan di Weibo meningkat lagi mengenai tingginya keraguan penduduk dan ketidakpercayaan mereka dengan pemerintah China.
Hal tersebut disampaikan oleh David Broniatowski, ketua pengambil keputusan laboratorium Universitas George Washington di Amerika Serikat.
"Banyak penduduk China mengutarakan kekhawatiran merekaa terhadap ancaman yang mungkin muncul dari vaksin tersebut. Kekhawatiran tersebut membesar tidak hanya untuk vaksin rabies tetapi semua vaksin yang dibuat dari Changchun Changsheng Biotechnology."
Hal ini jelas mengkhawatirkan. Sebab, jika begitu maka penanganan penyakit Covid-19 di China dapat terhambat hanya karena persepsi masyarakat telah menyamaratakan semua vaksin dan semua perusahaan farmasi.
Pada Juli 2018 silam, pemerintah China menyebut jika perusahaan vaksin tersebut telah melanggar peraturan nasional dan prosedur standar dengan memproduksi 250 ribu dosis vaksin rabies.
Berita dengan cepat beredar di Weibo tidak lama setelah insiden tersebut, yang membuat pimpinan perusahaan dan 14 pegawainya ditangkap.
Lebih dari pegawai nasional, provinsi dan lokal juga ditahan atas keterlibatan mereka dalam skandal tersebut. Termasuk dari para aparatur negara adalah empat dari Balai Makanan dan Obat China.
Yang membuat warga sulit percaya adalah, mantan pimpinan Balai Makanan dan Obat China tersebut adalah salah satu yang terlibat dalam skandal tersebut.
Broniatowski menyebut meski Covid-19 tidak ada saat skandal tersebut terjadi, tetapi kemungkinan vaksin Covid-19 tidak dipercaya oleh warga China masih sangat tinggi sampai saat ini.
"Hasil kerja sebelumnya menunjukkan kecenderungan jika warga yang memiliki kepercayaan rendah pada pemerintah akan lebih tidak mau untuk mempercayai pihak medis yang mendesak mereka menggunakan vaksin tersebut.
Jika kekhawatiran mereka menyebar luas, maka orang lain akan ragu untuk menggunakan vaksin tersebut, sehingga akan menambah kasus pasien Covid-19."
WHO menemukan keraguan terhadap vaksin sebagai satu dari 10 tantangan terberat mereka di tahun 2019.
Peneliti menyebut pemerintah dan petugas medis di seluruh dunia harus memprioritaskan usaha mengkomunikasikan kesehatan lebih baik lagi.
Pentingnya vaksin saat ini adalah karena beberapa ilmuwan, termasuk Broniatowski, percaya satu-satunya cara mencegah penyebaran virus corona adalah dengan pengembangan "herd immunity".
Herd immunity adalah kekebalan manusia yang terbangun setelah terkena penyakit Covid-19 dan sembuh. Kekebalan juga bisa terbangun melalui vaksinasi.
Jika herd immunity tercapai dengan cara pertama, tingkat kematian yang dicapai sangatlah tinggi dari total populasi seluruh manusia di dunia.
Sementara itu, awal pekan ini (20/07/20), Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Vaksin Covid-19 dari perusahaan asal China, Sinovac, sudah tiba di Indonesia.
Vaksin itu akan diujicobakan pada ribuan relawan di Indonesia.
Tetapi pengujian tahap III (percobaan pada manusia) vaksin corona dari China di Indonesia mengundang keprihatinan bagi anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil.
Menurutnya, uji coba itu sama saja menjadikan warga negara ini sebagai kelinci percobaan.
Baca Juga: Amerika Bersikukuh Tuding China Perlambat Penemuan Vaksin Corona
Nasir mengaku miris jika kemudian rakyat Indonesia justru dijadikan objek dari vaksin yang belum teruji itu.
Sebab, kemungkinan vaksin itu gagal dan berakibat buruk bagi manusia sangat terbuka lebar.
“Kan itu trial and error, uji coba namanya. Berarti bisa berhasil dan gagal. Kalau berhasil bagaimana, kalau gagal gimana? Tapi bukan berhasil atau gagal yang kita bicarakan,” ujarnya.
Dia mempertanyakan alasan pemerintah mau menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk melakukan ujicoba klinis tahap III.
Padahal di negara Cina sendiri vaksin tersebut belum sempat diujicobakan.
“Apa tidak ada negara lain? Kenapa Indonesia menerima itu? Seharusnya Indonesia punya sikap, yang tegas dan jelas, tidak ingin rakyatnya dijadikan “kelinci percobaan”. Seharusnya begitu,” katanya.
Pria asal Aceh ini berharap pemerintah mau mengubah keinginan untuk memberikan vaksinasi Sinovac kepada 1.620 orang atau pasien Covid-19 secara sukarela.
“Saya harapkan, pemerintah bisa mengubah pendiriannya. Jangan sampai rakyat sudah kena pandemik, kena itu lagi (ujicoba), artinya disudutkan lah,”harap Nasir.(*)
Artikel ini telah tayang di Gridhealth.id dengan judul "Teka-teki Terjawab Mengapa Warga China Enggan Divaksin Produk Sendiri, Skandal Vaksin 2018 Bikin Rakyat Tak Percaya, 'Kelinci Percobaan' Pindah ke Indonesia?"