Sosok.ID - Seorang anak perempuan usia 14 tahun berinisial Nf, harus menjalani hari-hari kelam di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Nf merupakan warga Way Jepara, Lampung Timur yang sebelumnya pernah menjadi korban pemerkosaan.
Melansir Tribun Lampung, pelaku perkosaan terhadap Nf kini sudah dijatuhi hukuman vonis 13 tahun penjara.
Sementara Nf diajukan ke P2TP2A dalam rangka pemulihan psikis dan mental.
Nf diketahui telah menjalani program pendampingan sejak akhir tahun 2019 di rumah aman yang dirujuk oleh UPT P2TP2A Kabupaten Lampung Timur.
Namun, bukannya mendapat perlindungan atas trauma yang dialaminya, Nf justru jadi korban pelampiasan nafsu bejat oknum Kepala UPT P2ATP2A berinisial DA.
Cerita ke paman
Kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami korban Nf sudah berjalan lebih kurang 6 bulan lamanya.
Fakta itu terkuak setelah korban memberanikan diri bercerita kepada sang paman setelah kabur dari rumah aman pemberdayaan perempuan dan anak tersebut.
Perwakilan Komunitas Aktivis Muda Indonesia (KAMI) Lampung Timur, Iyan Hermawan mengatakan, Nf mengalami syok setelah keluar dari rumah aman yang justru sama sekali tidak aman itu.
"Kamis (2/7/2020) malam korban cerita semua ke pamannya. Karena korban dari ekonomi lemah sehingga kami berinisiatif mendampingi korban ke Polda Lampung untuk buat laporan," ujar Iyan, dikutip dari Tribun Lampung.
Berdasarkan penuturan Iyan, korban selama ini memilih tutup mulut karena mendapatkan ancaman dari DA.
DA bahkan menyebut bakal membunuh ayah kandung korban, sehinga korban merasa ketakutan.
"Bapaknya Kerja buruh cetak bata, ibunya TKW di Malaysia. Tapi semua kebutuhan hidup ditanggung bapaknya, karena ibu korban jarang sekali mengirimkan uang," katanya.
Ayah marah besar, tahu dari sang paman
Ayah kandung korban, Sg (51) marah besar atas tindakan yang dilakukan oknum lembaga pemerintah tersebut.
Ia tak pernah menyangka anaknya yang merupakan korban perkosaan dan ingin pulih, justru dicabuli oleh pejabat yang bekerja di lembaga perlindungan anak.
"Jelas saya tidak terima. Anak saya bukannya dilindungi malah dipaksa melakukan perbuatan mesum," ujar Sg, Sabtu (4/7/2020).
Sg mengetahui semua kebenaran tersebut dari paman Nf. Menurut sang paman, korban tidak berani bercerita karena takut ayahnya marah.
Paman korban bahkan meminta Sg agar tidak naik pitam saat mengetahui apa yang terjadi pada anaknya.
"Anak saya diancam makanya gak berani ngomong sama saya. Saya tahu dari saudara, mereka yang minta saya berjanji jangan mukul, jangan marah setelah mengetahui itu," jelasnya.
Setelah mendengar perlakuan oknum pejabat tersebut, Sg langsung melapor pada pihak kepolisian.
"Selama ini saya percaya karena dia pakai seragam kuning kunyit (PNS). Ngakunya perlindungan anak ternyata biadab!" sesalnya.
Sementara perwakilan KAMI, Iyan Hermawan menyebut, korban sudah 3 bulan tinggal di rumah aman rujukan UPT P2TP2A.
Korban sempat dipulangkan ke rumah orang tua, namun pelaku DA masih kerap menyambangi korban.
Ironisnya, DA kerap menginap di rumah korban dengan berbagai alasan seperti hendak mendaftarkan korban ke SMP, dll.
Namun itu hanya alasan agar pelaku dapat kembali melakukan perbuatan keji itu.
Kata KLA dan LBH
Fasilitator Kabupaten Layak Anak (KLA) Toni Fiser menyatakan perbuatan oknum DA sangat mencoreng nama lembaga perlindungan perempuan dan anak.
Jika dugaan kekerasan seksual itu terbukti benar, Toni meminta agar pelaku dihukum seberat mungkin, sebab pelaku adalah orang yang tahu soal UU perlindungan anak.
"Sangat bejat, karena kalau memang DA pelakunya dia ini orang yang mengerti undang undang tentang anak," ujar Toni.
"Jangan pilih pilih pasal, karena terduga pelaku ini orang yang paham tentang perlindungan anak. Mungkin kalau orang gak paham masih bisa dimaklumi," katanya.
Di sisi lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung mengindikasikan jumlah korban dari pelaku oknum Kepala UPT itu akan bertambah.
Sebab Nf menuturkan masih ada dua korban lain yang menerima perlakuan serupa dengannya.
"Tidak menutup kemungkinan ada korban lain selain Nf, karena menurut Nf ada dua orang lagi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh DA," ujar Advokasi LBH Bandar Lampung Anugrah Prima.
Namun pihaknya belum dapat menelusuri lebih lanjut karena korban memilih bungkam.
"Dua korban lagi belum berani buka suara, jadi baru satu korban yang kami dampingi untuk membuat laporan polisi," terangnya.
Prima pun berharap kepada aparat kepolisian agar dapat mengungkap kasus ini dengan cepat dan transparan.
Ia sangat menyayangkan lembaga pemerintahan yang harusnya menjadi wadah tempat berlindung perempuan dan anak, justru jadi neraka.
"Jangan sampai kasus ini menguap begitu saja karena terlapor berstatus sebagai ASN di lembaga pemerintahan," jelasnya.
Dijual ke Pria lain dan jalani visum
Bukan hanya dipaksa bersetubuh dengan oknum Kepala UPT P2TP2A, korban Nf juga dijual untuk melayani pria lain.
Menurut Nf, salah satu pria yang dibawa DA adalah pegawai rumah sakit di Sukadana.
"Saya dijemput lalu diajak ke hotel," ujar Nf.
DA melancarkan aksinya dengan meminta foto korban via Whatsapp dan mengirimkannya ke pria hidung belang.
Korban pun terpaksa menurut karena dihujani bertubi-tubi ancaman.
Pelaku menyebut bakal memutilasi dan menyantet korban jika menolak. Pelaku juga memaksa korban untuk tutup mulut.
"Setelah digituin sama dia, saya dikasih uang Rp 700 ribu. Yang Rp 500 ribu buat saya, Rp 200 ribu lagi disuru kasih buat DA," jelasnya.
"Kalau gak nurut saya mau di cincang-cincang sama DA, saya takut jadi terpaksa ikutin kemauan nya," kata Nf.
Adapun untuk melengkapi berkas laporan dengan nomor STTLP/977/VII/2020/LPG/SPKT, korban menjalani visum di RSUDAM pada Sabtu (47/2020).
Kepala Divisi Ekosop LBH Bandar Lampung, Indra Jarwadi mengatakan, terlapor disangkakan pasal Pasal 76 b dan Pasal 81 tentang Undang undang perlindungan anak.
"Sudah dilakukan visum, dan kami juga masih menunggu hasilnya," ungkap Indra.
Terhitung hingga kasus terkuak, korban telah diminta melayani pelaku belasan kali, di mana terakhir terjadi pada Minggu (28/6) lalu.
"Terakhir pelaku kembali melakukan perbuatan tanggal 28 Juni. Saat itu korban dipaksa melakukan hubungan badan sebanyak empat kali," pungkas Indra. (*)