Sosok.ID - Pandemi Covid-19, telah melumpuhkan segala sektor kehidupan.
Perekonomian negara merosot tajam, memaksa pemerintah untuk memangkas beberapa anggaran dan mengalihkannya.
Virus corona yang kian mewabah di Indonesia membutuhkan pendanaan yang luar biasa dalam upaya mengatasainya.
Indonesiabahkanmemangkas anggaran pertahanan tahun 2020 lebih kurang sebanyak U$ 588 juta.
Kementerian Pertahanan yang berada di bawah Komando Prabowo Subianto semula memiliki anggaran Rp131,182 triliun, namun karena adanya wabah corona, anggaran tersebut disunat menjadi Rp 122,447 triliun (berkurang Rp 8,734 triliun).
Thailand juga telah mengurangi alokasi pertahanannya sebesar US$ 555 juta.
Malaysia, Vietnam, dan Filipina semuanya menghadapi tekanan serupa.
Melansir The Interpreter, semua negara ini adalah kekuatan maritim utama di kawasan ini.
Baca Juga: Corona Masih Mengancam, Wapres Ma'ruf Amin Minta Umat Jangan Paksakan Salat Ied di Luar Rumah
Lebih sedikit pengeluaran pertahanan berarti akan lebih sedikit patroli di laut.
Filipina telah memutuskan untuk membatalkan latihan tahunan Baltikatan 2020, yang akan melibatkan latihan dengan angkatan laut AS dan Australia.
Namun pemangkasan anggaran ini terjadi pada saat ancaman keamanan maritim tumbuh di wilayah tersebut.
Jika ada, pandemi telah membuat bahaya keamanan di kawasan semakin menjadi-jadi.
Dalam beberapa bulan terakhir di tengah wabah virus corona, pasukan angkatan laut China dilaporkan telah melakukan manuver intens di Laut China Selatan, tempat terjadinya beberapa klaim teritorial yang tumpang tindih dan sengketa.
Haiyang Dizhi 8, kapal penelitian pemerintah China, melakukan survei di dekat Capella Barat Malaysia yang dioperasikan Petronas.
Hal ini menciptakan ketegangan dengan pemerintah Malaysia.
Dalam insiden lain, kapal penangkap ikan Vietnam ditenggelamkan oleh kapal pengawas maritim Tiongkok di perairan yang disengketakan.
Baca Juga: Kisah Susah Soimah, Harus Bergilir Gantian Memakai Pakaian Dalam dengan Saudarinya
China juga telah berupaya untuk menghasut unit-unit administratif baru di Laut China Selatan, tampaknya mengambil keuntungan dari posisi lemahnya negara-negara penuntut lainnya dalam upaya untuk memperkuat klaim "nine dash line"-nya sendiri.
Meskipun Indonesia dan China belum memiliki sengketa maritim baru-baru ini, Indonesia sempat mengalami persinggungan tajam dengan China pada bulan Desember dan Januari atas patroli di Laut Natuna Utara, sebelum skala wabah koronavirus menjadi jelas.
Penjaga Pantai China telah mengawal kapal-kapal Tiongkok sambil menangkap ikan secara ilegal di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Pemerintah Indonesia menanggapi aksi itu dengan protes diplomatik ke Beijing.
Baca Juga: Istri Durhaka, Rupanya Zuraida Hanum 2 Kali Bersetubuh dengan Pelaku Pembunuh Suaminya
Selanjutnya dalam sinyal keseriusan Indonesia, Presiden Joko Widodo secara pribadi memimpin pertemuan dengan angkatan laut dan penjaga pantai di Laut Natuna Utara, memerintahkan patroli yang lebih intens.
Tak satu pun dari masalah ini diselesaikan antara Jakarta dan Beijing.
China masih menganggap Laut Natuna Utara sebagai bagian dari sembilan garis putus-putusnya, sementara Indonesia memiliki kebijakan tegas untuk tidak mengakui klaim semacam itu.
Jadi, sementara patroli maritim tetap diperlukan bagi Indonesia untuk memastikan China tidak melanggar batas perairannya, memotong anggaran pertahanan akan menimbulkan tantangan bagi pengawasan tersebut.
Tetapi bukan hanya perselisihan dengan Cina yang tetap menjadi risiko di perairan Asia Tenggara yang ditransisi dengan berat ini.
Pembajakan adalah ancaman abadi lainnya yang mungkin meningkat ketika ekonomi kawasan memburuk, memberi tekanan pada perusahaan bisnis yang sah dan menciptakan insentif untuk kegiatan terlarang.
Perairan di dan sekitar Indonesia telah lama dianggap sebagai salah satu zona paling berbahaya untuk pembajakan.
Lebih dari 60% dari semua insiden pembajakan laut antara tahun 1993 dan 2015 terjadi di Asia Tenggara, dengan lebih dari 20% dari insiden tersebut terjadi di Indonesia saja.
The Intrepeter menuliskan, hasil penelitian pasca krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an menemukan peningkatan sepuluh kali lipat dalam jumlah kasus pembajakan di perairan Indonesia dibandingkan dengan dekade sebelumnya, dengan 115 kasus dilaporkan pada tahun 2001 dibandingkan dengan hanya 10 pada tahun 1993.
Demikian pula, dalam dua tahun setelah krisis keuangan global 2008, Perjanjian Kerjasama Regional untuk Memerangi Pembajakan dan Perampokan Bersenjata (ReCAAP) melaporkan kenaikan 25% dalam tingkat pembajakan di Asia Tenggara.
"Indonesia memang tidak boleh meremehkan pentingnya upaya untuk menanggapi ancaman Covid-19 atau tantangan dalam mengatasi kejatuhan ekonomi.
"Akan tetapi, prioritas untuk pengeluaran harus dipertimbangkan dengan hati-hati, agar tidak mengurangi di bidang-bidang penting seperti pertahanan, karena hal ini bisa memperburuk keadaan," tulis The Intrepeter.
(Barratut Taqiyyah Rafie)
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul"Pangkas anggaran militer, posisi Indonesia di Laut China Selatan rentan atas Tiongkok"