Sosok.ID - Gubernur DKI Jakarta merasa 'dijegal' oleh aturan pemerintah pusat terkait penanganan virus corona di Jakarta.
Seperti diketahui, Jakarta merupakan kota paling terdampak Covid-19 di Indonesia.
Anies menyampaikan kritik tersebut kepada media Australia, yakni The Sydney Morning Herald dan The Age.
Dalam wawancaranya, mantan Menteri Pendidikan itu mengatakan, bahwa pihaknya telah berusaha mengantisipasi penyakit Covid-19 sejak Januari.
Namun upaya itu terhalang dukungan dari Kemenkes dan Presiden Jokowi.
Menurut Anies, jauh sebelum kasus infeksi dilaporkan pertama kali pada 2 Maret lalu, Jakarta telah melacak dan memantau kasus potensial virus Corona pada Januari.
Mengutip The Sydney Morning Herald, pada 6 Januari setelah mendengar kabar tentang virus baru di Wuhan, Anies langsung mengadakan pertemuan.
"Kami sudah mulai mengadakan pertemuan dengan semua rumah sakit di Jakarta, memberi tahu mereka tentang adanya virus Pneunomia Wuhan (saat itu belum disebut Covid-19)," kata Anies, dikutip Sosok.ID, dilansir dari The Sydney Morning Herald, Sabtu (9/5).
Kala itu, Anies telah memasang hotline kepada 190 rumah sakit di Jakarta untuk melayani konsultasi virus corona.
"Jumlahnya (kasus Covid-19) terus meningkat pada bulan Januari hingga bulan Februari, kami lantas menetapkan keputusan pemerintah, membagi tugas untuk menangani Covid-19 di pemerintahan provinsi (Jakarta)," kata Anies.
Meski begitu, Anies tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian laboratorium ketika pasien melapor adanya indikasi dengan gejala mengarah pada virus corona.
"Dan kemudian ketika jumlah kasusnya terus naik, pada waktu itu kami tidak diizinkan melakukan pengujian. Jadi, setiap kali kami memiliki kasus, kami mengirimkan sampel ke lab nasional (yang dikendalikan pemerintah pusat/Kemenkes)," ungkapnya.
Baca Juga: Agar Tahu Apa Itu Pendidikan, Anies Baswedan Minta Para Guru Baca Tulisan Pikiran Ki Hajar Dewantara
"Dan kemudian lab nasional akan menginformasikan, positif atau negatif. Pada akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya negatif?" lanjut Anies, merasa sanksi jika Indonesia nol kasus corona.
Anies berniat untuk menyampaikan data pantauannya, namun pemerintah pusat terus mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kasus positif.
"Pada waktu itu saya memutuskan untuk go public dan saya katakan kami telah memantau, ini adalah angkanya. kemenkes menanggapi, mengatakan kami tidak memiliki kasus positif," jelasnya.
Sebagai orang yang merasa bertanggung jawab atas Jakarta, Anies berusaha sedini mungkin melacak kasus infeksi.
Sebab saat itu dunia Internasional bahkan telah mewanti-wanti pemerintah Indonesia.
Namun sepanjang Januari hingga Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto berulang kali justru menyangkal peringatan dunia.
Ia bahkan membantah dengan tegas kajian peneliti dari Harvard yang mengkhawatirkan kasus infeksi di Indonesia diam-diam tak terdeteksi.
Alih-alih responsif dan gerak cepat, Terawan berbekal keterangan "berkat doa" menyampaikan bahwa Indonesia nol kasus corona hingga akhir Februari.
Sementara Presiden Joko Widodo dalam kesempatan lain mengakui telah menahan beberapa informasi demi menghindari kepanikan publik yang berlebihan.
Akhir-akhir ini, beberapa pakar nasional mengkalim Indonesia akan segera melewati puncak pandemi Covid-19.
Pandangan optimis itu dicelah Anies, Gubernur DKI Jakarta itu ingin bersifat realistis dan tidak menduga-duga.
Ia tidak ingin terkesan memberikan harapan palsu pada masyarakat, sementara kapan akhir dari virus corona tidak bisa diprediksi semudah itu.
"Saya belum yakin apakah kita akan merata (kurva kasus infeksi). Kita harus menunggu beberapa minggu ke depan untuk menyimpulkan apakah tren itu sedang merata atau masih bergerak naik," katanya.
Gugus tugas Covid-19 sempat memperkirakan gelombang corona bakal surut di bulan Juni atau Juli.
Sayangnya kondisi masyarakat yang tak patuh seolah mengabarkan tanggal target harus mundur ke bulan-bulan setelah Juli.
"Mengapa saya tidak ingin membuat prediksi? Karena saya melihat data. Data-data yang ada tidak mencerminkan virus corona akan segera berakhir," ungkapnya.
"Itulah yang dikatakan oleh para ahli epidemiologi. Ini adalah waktu di mana para pembuat kebijakan perlu percaya pada ilmu pengetahuan (alih-alih menerka), "Kata Anies.
Anies Baswedan juga merasa frustasi, sebab pandangannya dengan pemerintah pusat tidak sejalan.
"Dari pihak kami, bersikap transparan dan keterbukaan tentang kondisi saat ini diyakini akan memberikan rasa aman. Tetapi Kementerian Kesehatan merasakan sebaliknya, bahwa transparansi akan membuat panik. Itu bukan pandangan kami," jelasnya.
Anies memperkirakan sebanyak 1,6 juta orang telah meninggalkan Jakarta untuk untuk mudik.
Ia juga menyayangkan karena pemerintah pusat tidak tegas melarang mudik, kebijakan itu bahkan kerap dinilai berubah-ubah.
Sehingga untuk mencegah gelombang kedua virus corona pada akhir Mei, ia mengatakan bakal memblokir orang yang balik ke Ibukota setelah nekat mudik.
Akibatnya Anies harus mendengar ribuan hujatan dan kritikan dari beberapa politisi, yang menganggap antisipasi itu sebagai 'reaksi berlebihan', yang oleh Anies dijawab dengan bijak.
"Saya tidak khawatir tentang apa yang dikatakan media sosial tentang kebijakan kami, saya lebih khawatir tentang apa yang akan ditulis sejarawan di masa depan tentang kebijakan kami," tandasnya. (Rifka/Sosok.ID)