Sosok.ID - Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) sempat diberikan usulan untuk mencetak rupiah di tengah pandemi Covid-19.
Usulan itu muncul dari Badan Anggaran DPR RI, yang menyarankan agar BI mencetak uang Rp 600 triliun.
Saran serupa dengan nominal lebih ekstrim bahkan diutarakan oleh mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Melansir Kontan.co.id, Gita mendukung wacana usulan anggota DPR, dan meminta BI untuk mencetak Rp 4.000 triliun.
Jumlah yang sangat fantastis dengan risiko besar yang tentunya tidak mudah untuk dihadapi.
Menurut Gita, selain menyelamatkan ekonomi negara, uang itu juga dapat diberikan untuk membantu rakyat kecil terdampak corona.
"Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM," ucap Gita, dikutip Sosok.ID, dilansir dari Kontan.co.id.
Wacana cetak uang ini muncul sebab defisit APBN telah mencapai 5 persen, padahal sebelumnya hanya 1,75 persen.
Baca Juga: Gubernur BI Sebut Jika Corona Kelar Rupiah Bakal Menguat, Namun AS Bakal Punya Utang Puluhan Triliun
Wakil Ketua Pertimbangan Kadin itu bahkan meminta BI untuk tak kuatir, sebab banyak pula negara lain yang mencetak uang di masa-masa sulit.
"Harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang. Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini," ujarnya.
Pria yang pernah berkarir di Goldman Sachs ini menepis kekhawatiran adanya moral hazard dalam kebijakan cetak uang.
Dia menganggap bahwa itu adalah alternatif paling mungkin untuk mencapai likuiditas.
Kendati demikian, BI memberi indikasi tak akan mencetak uang tambahan utuk menambah dana atau likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.
Sebab hal itu akan menyebabkan inflasi gila-gilaan yang kedepannya justru bakal menyengsarakan rakyat.
Cetak uang yang tak dapat dikendalikan akan membuat nilai tukar rupiah makin berkurang, dan menyebabkan harga-harga melambung tinggi.
Hal ini menjadi lebih parah karena permintaan produksi barang/jasa makin rendah, sehingga memicu situasi krisis yang makin mengerikan.
Nilai tukar Anjlok
Nilai tukar mata uang asing, dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Jika peredaran rupiah makin bertambah, maka nilai kurs Internasional bakal makin turun.
Terlebih, rupiah tak sama seperti dollar AS dan yen Jepang yang diterima di dunia.
Berkaca dari Zimbabwe, negara itu bahkan pernah mengalami hiperindlasi karena mata uang yang hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.
Inflasi di Zimbabwe bahkan pernah menyentuh angka 231 juta persen pada tahun 2008, menyebabkan adanya redenominasi mata uang dengan menghilangkan 10 angka nol dari 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe
Utang membengkak, PHK besar-besaran
Cetak uang secara berlebihan juga meningkatkan risiko utang luar negeri naik tajam.
Ini merupakan efek domino dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap kurs asing.
Makin rupiah tak berarti di mata internasional, maka utang negara akan otomatis membengkak.
Sebagai mata uang yang tak diakui secara internasional, rupiah tidak dapat sekonyong-konyong dicetak tanpa pertimbangan.
Beberdarnya jumlah uang yang terlalu banyak juga mengakibatkan daya beli masyarakat anjlok.
Mengakibatkan adanya PHK karyawan besar-besaran, karena banyak perusahaan yang menurunkan dan menahan produksi barang/jasa.
Situasi ini kemudian membuat investor tak tertarik berinvestasi di Indonesia, atau dalam kondisi terparahnya, investor akan menarik modal yang di tanam di Indonesia.
Bank sentral tak ingin mengulang BLBI 1998
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, alasan lain mengapa BI menolak mencetak uang sebab bank sentral enggan mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998.
Saat itu, angka inflasi Indonesia mencapai 67 persen.
"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol," kata Perry ketika memberikan penjelasan kepada anggota Komisi XI DPR RI secara virtual.
Perry mengatakan, saat inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah dan likuiditas.
"Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," tambahnya.
Alih-alih melakukan pencetakan besar-besaran, BI kata Perry, lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain untu menambah likuiditas.
Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. (*)