Sosok.ID - Aksi keberanian seorang kakek lansia dari Indonesia ini patut diacungi jempol.
Bahkan di usia senjanya dirinya masih berani datang ke negeri orang untuk mencari keadilan.
Tak main-main, ia datang dan menantang pemerintah Belanda untuk menuntut pertanggungjawaban atas kematian sang ayah.
Pria bernama Andi Monji (83) asal desa Suppa, Sulawesi ini menjadi saksi mata kekejaman pemerintah Kolonial Belanda pada masa silam.
Tak sampai disitu saja, sang ayah pun menjadi salah satu korban kekejaman pemerintah kolonial pada masa itu.
Ayahnya dieksekusi dengan kejam oleh tentara Kerajaan Belanda pada waktu Andi masih berusia 10 tahun.
Ia masih ingat bagaimana kekejaman Belanda waktu datang ke Sulawesi dan membantai 200 orang di desa Suppa pada 28 Januari 1947.
Berbekal ingatan dan dibantu oleh seorang pengacara bernama Liesbeth Zegveld, Andi Monji terbang ke Belanda.
Baca Juga: Korea Selatan Tahu Dimana Keberadaan Kim Jong Un
Tepatnya ia datang ke Den Haag untuk menuntut pertanggungjawaban atas kematian sang ayah.
Perjuangan mencari keadilan itupun sempat menemui jalan buntu saat pengadilan sebelumnya menolak pembayaran ganti rugi dari Pemerintah Belanda kepada Andi Monji.
Namun secara resmi pemerintah Negeri Kincir Angin meminta maaf atas kekerasan brutal yang terjadi di Indonesia, selama tahun 1940-an silam.
Kegigihan pria berusia 83 tahun itu akhirnya membuahkan hasil, saat pengadilan mengabulkan permintaan ganti rugi Andi.
Belanda pun bersedia membayar ganti rugi sebesar 10.000 euro atau sekitar Rp 168 Juta.
"Ayahnya, Tuan Monjong, adalah satu dari lebih dari 200 orang yang dieksekusi mati saat pembantaian desa Suppa, 28 Januari 1947," kata pengacara Andi, Liesbeth Zegveld, kepada ABC.
Memang pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia kala itu diwarnai perjuangan yang berdarah-darah salah satunya kembalinya tentara Belanda ke tanah Indonesia.
Banyak kekejaman yang dilakukan di sejumlah pulau saat Belanda ingin menguasai Indonesia kembali setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Termasuk salah satunya pembantaian di Sulawesi yang juga disebut sebagai 'Peristiwa Westerling'.
Tindakan keji tentara Belanda tersebut memang diluar kewajaran kala itu lantaran Indonesia telah menyatakan diri sebagai sebuah negara yang merdeka.
Dikutip dari Kompas.com, menurut sejarawan Chris Lorenz, "Pemerintah Belanda pada awalnya mencoba untuk mewakili perang kolonial sebagai kelanjutan Perang Dunia II, yaitu perjuangan demokrasi Belanda melawan Jepang 'fasis'."
Namun pada kenyataannya, kekaisaran Belanda yang mulai melemah saat itu, mengobarkan perang sebagai upaya mendapatkan kembali Indonesia yang kaya sumber daya alam.
Tindakannya termasuk menyerbu desa-desa, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak.
Orang-orang yang diduga memiliki sikap anti-Belanda langsung dieksekusi.
Penyelidikan Belanda pada tahun 1950-an menemukan lebih dari 3.000 orang telah dibunuh selama 3 bulan, tapi Indonesia memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi.
Kasus Andi bukan yang pertama kali ditangani oleh pengacara Liesbeth Zegveld.
Baca Juga: Achmad Yurianto Mengucap Syukur Atas Penanganan Covid-19 Indonesia, Ada Apa?
"Kami telah berhasil mendapat ganti rugi dalam bentuk kerusakan moral bagi seorang perempuan Indonesia yang diperkosa tentara Belanda selama pembantaian desanya pada tahun 1949, serta seorang pria Indonesia yang disiksa saat ditangkap Belanda di 1947," katanya kepada ABC.
"Dulu, masa kolonial suatu negara seperti Belanda, dianggap sebagai sumber kebanggaan nasional," kata Liesbeth.
"Saya pikir penting bagi Belanda untuk memperhatikan masa lalu kolonialnya." (*)