Sosok.ID - Aktivis dan pengacara Hak Asasi Manusia (HAM), Veronica Koman tak jera menyuarakan opininya.
Ia menyatakan akan terus melaporkan tindak pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dialami rakyat Papua.
Melansir Kompas.com, pada September 2019 lalu, Veronica Koman ditetapkan sebagai buronan oleh Polda Jawa Timur (Jatim).
Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus provokasi dan penyebaran berita bohong tentang Papua, yang kemudian resmi masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Jatim.
Penetapan Veronica sebagai buronan dikeluarkan setelah aktivis hak asasi manusia itu 2 kali mangkir dalam panggilan pemeriksaan polisi.
Postingan Veronica Koman dalam rangkaian aksi protes perusakan bendera di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, Jatim, dianggap memprovokasi dan menyulut aksi kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Meskipun buron, wanita yang mendapatkan penghargaan HAM di Australia ini, beberapa kali masih muncul ke publik.
Baru-baru ini, nama Veronica Koman kembali ramai diperbincangkan.
Hal ini lantaran ia mengaku telah menyerahkan data berisi 57 tahanan politik serta 243 korban sipil yang diduga tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018 lalu.
Menurutnya, data ini telah diserahkan langsung dan diterima oleh Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Canberra, Australia, Senin (10/2/2020).
Sebagai informasi, Vronica Koman adalah WNI yang mendapatkan beasiswa di Australia, yang menurut Mahfud MD, telah mengingkari janji untuk kembali ke Indonesia sebagai penerima ikatan beasiswa.
Di Autralia, Veronica dianggap sebagai "pembela HAM" karena berani menyuarakan kasus HAM di Papua.
Meskipun kalimat Veronica Koman, disebut sebagai upaya provokatif yang memicu kerusuhan di Papua.
"Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi." ungkap Veronica melalui keterangan tertulis yang diterima via Kompas.com, Selasa (11/2/2020).
"Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia," ungkap Veronica.
Menurutnya, ia telah menyampaikan data orang-orang yang meninggal selama operasi militer di Nduga Papua.
"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” sambungnya
Vero mengungkapkan bahwa Jokowi telah membebaskan lima tahanan politik Papua di periode pemerintahannya pada tahun 2015.
Namun, pada periode kedua, terdapt 57 tahanan politik yang sedang menunggu sidang.
Vero mengklaim, seluruh lapisan masyarakat di Papua telah memohon kepada Jokowi untuk menarik pasukan dari Nduga sejak Desember 2018 mengingat banyaknya korban.
Sayangnya, hal itu tak kunjung terjadi.
Ia lantas menanyakan langkah presiden terhadap permintaan penarikan pasukan tersebut.
"Sekarang Presiden Jokowi sendiri yang sudah langsung pegang datanya, termasuk nama-nama dari 110 anak-anak dari total 243 sipil yang meninggal, akankah Presiden tetap tidak mengindahkan permintaan tersebut?" tuturnya
Menanggapi Veronica Koman, Polri menegaskan tak akan menarik personelnya yang bertugas di Papua.
"Tentunya tidak mungkinlah dalam suatu daerah itu akan ditarik kepolisian yang berjaga di situ," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (11/2/2020).
Menurut Argo, polisi yang bertugas justru memberikan pelayanan dan keamanan pada masyarakat Papua.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menganggap dokumen Veronica sebagai hal yang tidak penting.
"Itu anulah, kalau memang ada ya sampah saja lah," kata Mahfud di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020) sore.
Mahfud yang diketahui turut serta di Australia, tidak mengetahui apakah dokumen tersebut benar-benar sudah diserahkan langsung pada Presiden atau tidak.
Mahfud menyebutkan, terlalu banyak warga yang berebut untuk bersalaman dan menyerahkan surat pada Jokowi kala itu.
Menurut Vero, pernyataan Mahfud yang menganggap data tersebut sebagai sampah, hanya akan memperdalam luka bagi rakyat Papua.
"Namun tetap sangat disayangkan, mengingat ini akan memperdalam luka orang Papua," ungkap Veronica via Kompas.com, Selasa (11/2/2020).
Kendati demikian, ia mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Mahfud.
Vero teringat ketika Mahfud menyebut bahwa tidak ada lagi kasus kejahatan HAM pasca-reformasi 1998.
Menurut dia, akan sulit bagi korban untuk mendapatkan keadilan, jika pelanggaran HAM bahkan tidak diakui oleh pemerintah.
Baca Juga: Harapan Menipis, China Tidak Tahu Siapa Patient Zero Corona Agar Bisa Buat Vaksin Anti Virus
Munculnya pernyataan Mahfud juga membuatnya pesimis.
Vero lantas mempertanyakan, bagaimana masyaraka Papua dapat menaruh harapannya pada Presiden Indonesia, Joko Widodo.
"Tidak terlalu optimis memang, tetapi setidaknya sekarang kita sudah tahu, bahwa operasi militer di Nduga masih lanjut bukan karena Presiden Jokowi tidak tahu sudah makan banyak korban," ucap Vero.
"Panglima tertinggi negara ini sudah tahu, tapi operasi tersebut tetap dilanjutkan, kemudian orang Papua diminta harus tetap menaruh harapan pada Pak Jokowi?" ucapnya, dikutip dari Kompas.com.
(*)