Obsesi China Terkait "Stabilitas" Memantik Api Global, Amnesty International Minta Tiongkok Belajar dari Kasus Kematian Li Wenliang, Dokter Wuhan yang Peringatannya Dituduh Hanya Bualan

Minggu, 09 Februari 2020 | 10:15
Instagram: @realxijinping/scmp.com

Amnesty International meminta Pemerintah China untuk belajar dari kasus kematian Li Wenliang, untuk tidak bersikap egois dan obesesif hanya demi

Sosok.ID - Amnesty International menyoroti kematian Li Wenliang, dokter sekaligus orang pertama yang mencoba memberikan peringatan terkait adanya bahaya virus yang serupa dengan SARS, sebagai imbas dari obsesi China terkait "stabilitas".

Li Wenliang, merupakan dokter pertama yang sempat memberikan peringatan tentang adanya bahaya virus mirip SARS di China, yang kini diketahui sebagai virus corona.

Ia menyampaikan peringatan tersebut jauh sebelum epidemi virus corona melanda dan merebak di seluruh daratan China.

Sayangnya pemerintah bukan mempercayai ucapannya, dan malah meminta Li untuk tutup mulut, menyebutkan bahwa peringatan Li adalah sebuah tindakan ilegal.

Baca Juga: Comeback Duo Ratu Bakal Pecah, Denny Darko Ramalkan Kesuksesan Maia Estianty Jika Maafkan Pelakor yang Mengganggu Rumah Tangganya dengan Ahmad Dhani

Polisi lantas mendatangi Li yang dianggap telah menyebarkan berita bohong.

Li, yang juga dinyatakan terinfeksi patogen virus corona pada Sabtu (11/1/2020) dan meninggal dunia pada Jumat (7/2/2020), baru dianggap setelah wabah virus corona merebak secara global dan membunuh lebih dari 700 orang.

Li diketahui meninggal di usianya yang ke 34 tahun, setelah maju di garda paling depan melawan virus corona, dan merelakan dirinya ikut terinfeksi.

Kematian Li memantik amarah warga Tiongkok, beberapa dari mereka berduka dan menyalakan lilin untuk berdoa, dan yang lainnya menuntut pemerintah China untuk meminta maaf atas perlakuannya kepada Li sebelumnya.

Baca Juga: Anggota DPR RI Ini Lakukan Penggerebekan Praktik Prostitusi di Hotel Padang, Beberapa Hari Kemudian Namanya Malah Muncul di Kuitansi Pemesan Kamar, Ini yang Terjadi!

Dikutip Sosok.ID dari keterangan tertulis di website resmi Amnesty International, Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Nicholas Bequelin berujar, kasus Li adalah pengingat yang tragis.

"Tentang bagaimana obsesi pemerintah China akan 'stabilitas', mendorong negara itu untuk menekan informasi penting tentang hal-hal yang menjadi kepentingan umum," jelasnya.

Hal ini tentu disayangkan, mengingat jika Pemerintah China tak mengabaikan peringatan Li, mungkin epidemi tersebut tak kan merebak sedemikian hebatnya seperti sekarang.

“Tiongkok harus belajar dari kasus Li dan mengadopsi pendekatan penghormatan hak untuk memerangi epidemi." ungkap Bequelin, dilansir pada Sabtu (8/2/2020).

Baca Juga: Bukan Luna Maya, Inilah Sosok Orang Ketiga yang Disebut Jadi Penyebab Kandasnya Rumah Tangga Ariel Noah dan Sarah Amalia

"Tidak ada yang harus menghadapi pelecehan atau sanksi karena berbicara tentang kondisi bahaya publik, hanya karena hal itu dapat mempermalukan pemerintah." ungkapnya.

Sementara itu, dalam wawancara eksklusif dengan The New York Times, dikutip via Kompas.com, Li mengungkapkan bahwa dia segera menemukan bahwa tingkat penularan virus itu sangat tinggi.

"Saya tahu ketika saya terlibat kontak dengan pasien yang sudah tertular. Karena penyakit itu tak menunjukkan gejala tertentu, saya jadi kurang berhati-hati," ujarnya.

Karena menduga bahwa virus itu bisa menular dari manusia ke manusia, pada 30 Desember 2019, Li memutuskan untuk memperingatkan koleganya via WeChat.

Baca Juga: Walaupun Dikenal Galak hingga Sering Buat Orang salah Paham, Kehadiran Ahok Ternyata Masih Dirindukan oleh Banyak Masyarakat, Seorang Warga Jakarta Ungkap Alasannya

Li sempat memperingatkan teman-teman sekolah kedokterannya dalam sebuah grup obrolan online, bahwa ia menemukan adanya penyakit mirip SARS.

Li menyebutkan bahwa penyakit tersebut telah melanda beberapa pasien di rumah sakit Wuhan dan semuanya dikarantina di Unit Gawat Darurat.

scmp.com
scmp.com

Dokter Li Wenliang yang ditangkap karena mengirim pesan peringatan tentang virus corona, telah meninggal dunia pada Jumat (7/2/2020).

Pada hari yang sama ketika dr. Li menyampaikan pesannya, otoritas kesehatan setempat mengumumkan bahwa kota tersebut telah mengkonfirmasi 27 kasus virus jenis baru, kebanyakan dari mereka terkait dengan pasar makanan laut.

Namun sayangnya, Li, bersama dengan tujuh orang lain yang berbagi informasi tentang wabah tersebut, termasuk setidaknya tiga dokter lain, justru dipanggil polisi setempat.

Baca Juga: Dahulu Dikucilkan Gegara Cuma Anak ART dan Tak Punya Ayah, Skarang Pria Ini Bisa 'Tampar' Orang-orang yang Membullynya dengan Kesuksesan sebagai Selebgram

Mereka dipaksa untuk menandatangani surat yang berjanji untuk tidak membuat pengungkapan lebih lanjut mengenai penyakit ini.

"Kami dengan sungguh-sungguh memperingatkan Anda bahwa jika Anda tetap memegang senjata dan tetap tidak sabar, dan terus melakukan kegiatan ilegal, Anda akan dihukum oleh hukum," tulis polisi Wuhan dalam teguran tersebut.

Sementara Li yakin dengan gejala pasien yang mirip SARS dan khawatir soal penyebarannya, pemerintah justru bersikeras bahwa virus jenis baru itu hanya menular dari hewan, dan tak ada penularan yang terjadi antar manusia.

“Saya demam pada 11 Januari dan dirawat di rumah sakit pada hari berikutnya. Saat itu, pemerintah masih bersikeras bahwa tidak ada penularan dari manusia ke manusia, dan mengatakan tidak ada staf medis yang terinfeksi. Saya hanya bingung, ” kata Li dalam postingannya di Weibo, dikutip dari South China Morning Post.

Baca Juga: Bukan Menteri Perdagangan Atau Bahkan Presiden Jokowi, Sosok Ini Gelontorkan Bawang 120 Ton Demi Stabilkan Harga Pangan di Indonesia, Ujang: Hanya Untung Rp 4.000 Per Kilo

“Tes virus saya masih negatif, tetapi saya kesulitan bernapas, saya hampir tidak bisa bergerak. Orang tua saya juga dirawat di rumah sakit," ungkap Li, sehari sebelum ia dinyatakan terjangkit virus corona.

Sementara hingga Sabtu (8/2/2020), virus ini telah menginfeksi sebanyak 34.947 orang, membunuh 725 jiwa, dan tersebar di 27 negara lain diluar China.

(*)

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber : South China Morning Post, Amnesty International

Baca Lainnya