Sosok.ID - Para ilmuwan Australia melakukan terobosan global dengan menjadi yang pertama kalinya menumbuhkan virus corona di laboratorium.
Ilmuwan Australia dikabarkan tengah berusaha menduplikat virus corona yang dikenal sangat berbahaya, di sebuah laboratorium dengan keamanan yang tinggi.
Mereka menyebut ini sebagai sebuah langkah besar menuju penemuan vaksin.
Hasil "terobosan signifikan" ini akan dibagikan pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan harapan dapat membantu upaya diagnosa dan menangani virus corona.
Hingga Jumat (31/1/2020), virus corona telah merenggut 213 nyawa, menginfeksi 9776 orang, dan tersebar di 21 Negara di luar China.
WHO juga telah menetapkan status darurat internasional terkait virus corona.
Pasalnya, pertumbuhan virus corona telah melampaui wabah SARS pada tahun 2002-2003.
Melansir Kompas.com, wabah SARS tau Severe Acute Respiratory Syndrome merupakan sindrom pernapasan akut parah, yang menewaskan sejumlah 774 orang di seluruh dunia.
Sementara jumlah terinfeksi mencapai lebih dari 8.000 orang dalam kurun waktu sembilan bulan (November 2002 sampai Juli 2003).
Sementara virus corona, sejak kemunculannya pada Desember 2019, telah menginfeksi lebih dari jumlah terinfeksi wabah SARS di tahun 2002-2003.
Para ilmuwan bahkan menyebutkan bahwa virus ini akan terus berkembang hingga menginfeksi ratusan ribu orang dalam skala global.
Duplikat Virus Corona
Melansir Daily Mail, para ahli di Institut Infeksi dan Imunitas, Peter Doherty Melbourne, berhasil mengambil sampel virus dari pasien pertama yang didiagnosis di Australia.
Mereka bekerja sepanjang waktu demi berhasil menumbuhkan virus di atas sel, untuk membagikannya pada WHO dan mendistribusikannya ke laboratorium di seluruh dunia.
Hal ini dilakukan di tengah harapan dapat membantu mengembangkan vaksin corona dalam dua bulan.
Para ilmuwan di China sebelumnya telah berbagi runutan genom virus corona yang baru, namun bukan sampel fisik virus itu sendiri.
Ketika para ilmuwan Melbourne menemukan bahwa mereka telah menumbuhkan virus tersebut, wakil direktur Doherty Institute Mike Catton mengatakan: "Kami berhasil mendapatkannya (virus). Fantastis."
Dia mengatakan virus itu 'berbahaya' tetapi tidak mematikan seperti Ebola yang menewaskan 11.000 orang di Afrika Barat pada tahun 2014 atau SARS yang menyebar dari China dan menewaskan sekitar 800 orang pada tahun 2003.
"SARS yang kita tahu memiliki tingkat kematian sekitar 10 persen. Virus korona ini tampaknya tiga persen. Pendapat pribadi saya malah lebih rendah dari itu," kata Dr Catton kepada ABC, dilansir via Daily Mail, Jumat (31/1/2020).
Dalam sebuah konferensi pers pada hari Rabu sore, Dr Catton mengatakan bahwa menumbuhkan virus adalah 'bagian dari teka-teki' utama dalam menemukan vaksin - tetapi memperingatkan ada jalan panjang sebelum virus ini diberantas.
Nantinya, para ilmuwan akan menguji setiap vaksin potensial dan melihat reaksinya terhadap virus di laboratorium.
Harapan Penemuan Vaksin Corona
Hasil duplikat virus yang dilakukan ilmuwan Australia, disebut pra dokter dapat digunakan sebagai materi kontrol yang akan membantu kepentingan diagnosis.
Duplikat ini membantu para dokter sehingga dapat mengembangkan tes pra diagnosis untuk mendeteksi keberadaan virus pada setiap orang yang bahkan belum memunculkan gejala apapun.
Dikutip dari Kompas.com, ilmuwan Julian Druce berkata bahwa timnya telah bekerja snagat keras untuk memahami tentang virus corona 2019-nCoV.
"Kami mengamati selama 10-12 jam, baru selesai pukul 2.00 pagi. Kami telah merancang dan merencanakan latihan seperti ini selama beberapa tahun. Inilah yang dibangun Doherty Institute," kata Druce.
"Karena sudah berlatih sejak lama, kami bisa mendapat hasilnya pada hari Jumat. Ini untuk diagnosis, deteksi, pengurutan, dan isolasi pasien," imbuhnya.
Catton, seorang ahli patologi mengatakan, 2019-nCoV adalah virus tingkat tiga, yang artinya virus tersebut berbahaya. Namun tidak semematikan virus Ebola.
Sementara itu, meskipun jumlah korban terinfeksi jauh lebih banyak dibanding wabah SARS (dan kemungkinan akan terus bertambah), namun tingkat kematian akibat virus corona dikatakan Catton, jauh lebih rendah dibanding wabah SARS di tahun 2002-2003
(*)