Sosok.id - Mahasiswi ini akan merasa kesakitan ketika berkeringat, menangis, atau mandi.
Tessa Hansen-Smith menderita penyakit langka bernama aquagenic urticaria, suatu kondisi yang diperkirakan hanya diderita 100 orang di dunia.
Melansir dari Daily Mail pada Rabu (27/11/2019), gadis berusia 21 tahun yang berasal dari California itu mengalami gejala seperti ruam, migrain dan demam beberapa menit setelah ia menyentuh air.
Berkat alergi yang dialaminya ini, Tessa tak bisa berolah raga dan harus dijaga kalau-kalau ia nanti berkeringat saat melakukan gerakan.
Selain itu, Tessa juga hanya diperbolehkan untuk mandi sebanyak 2 kali dalam satu bulan.
Bahkan, Tessa juga merasa tak nyaman saat harus meminum seteguk air.
"Ini adalah kondisi yang sangat menyulitkan karena saya bahkan alergi dengan air mata, air liur, dan keringat saya sendiri," ujar Tessa seprti dikutip dari Daily Mail.
"Saya benar-benar lelah kepanasan dan harus menghindari aktivitas fisik," keluhnya.
"Saya bahkan tak bisa pergi kemana-mana saat di kampus bila tidak mau mengalami migrain, demam, dan ruam saat mengikuti pelajaran di kelas sehingga saya kesulitan untuk berkonsentrasi," jelasnya.
Tak hanya bagian tubuh yang terlihat, organ dalam Tessa juga menderita ketika bersentuhan dengan air, termasuk air minum.
"Saya mengalami kelelahan otot dan mual juga.
Rasa sakit ini biasanya disebabkan oleh makanan yang saya konsumsi, terutama yang mengandung banyak air seperti buah dan sayur.

:quality(100)/photo/2019/11/28/2143647384.jpg)
Ruam di tubuh Tessa akibat keringat dan air matanya sendiri.
Bahkan air minum dapat menyebabkan lidah saya terluka," akunya.
Tessa didiagnosis ibunya, yang juga seorang dokter, menderita penyakit langka ini sejak ia berusia 10 tahun.
Namun, tanda-tanda penyakit ini muncul pertama kali saat Tessa menginjak usia 8 tahun.
Saat itu, setelah Tessa mandi, tiba-tiba muncul ruam di tubuhnya.
Semula orang tua Tessa mengira dirinya alergi terhadap sabun dan sampo yang ia gunakan.
"Saya benar-benar beruntung karena ibuku adalah seorang dokter keluarga, jadi, ketika aku terus mengalami ruam ini, tebakan pertamanya adalah aku memiliki alergi tehadap sabun dan sampo," ujar Tessa.
"Mengingat hal ini, kami pun mencoba satu per satu produk sabun dan sampo yang tidak akan menimbulkan rekasi alergi padaku," terangnya.
"Untuk mengobati ruam-ruam itu, aku meminum tablet, tetapi urticaria aquagenic semakin parah seiring bertambahnya usia, sehingga obat itu tak lagi berfungsi padaku," tambahnya.
Tessa dan ibunya itu menyadari kondisi langka tersebut setalh meneliti gejalanya melalui internet.
Sejak saat itu, ibunya menjadi dokter pribadi Tessa.
Karena kondisi ini sangat langka, data untuk melakukan perawatan terhadap seorang penderita sangatlah terbatas.
Mahasiswi itu kini mengonsumsi sembilan tablet anthistamin setiap harinya untuk mengurangi gejalanya.
"Menderita urticaria aquagenic kadang-kadang bisa menjadi permainan mental, sulit rasanya untuk mengonsumsi 9 tablet setiap hari dan mengetahui fakta bahwa hal tersebut tak akan pernah berakhir," ujar Tessa.
"Pada satu waktu, saya meminum 12 tablet sehari, saat ini saya hanya minum 9 tablet," tegasnya.
"Aku sering diingatkan bahwa tidak ada obat untuk urticaria aquagenic dan aku tidak akan pernah menjadi lebih baik adalah hal yang sangat sulit untuk didengar," jelasnya.
Terlepas dari tantangan yang dihadapinya setiap hari ini, Tessa bertekad untuk tidak membiarkan kondisinya ini mengendalikan seluruh hidupnya.
"Saya selalu bertekad untuk mandiri dan meninggalkan kota asal saya untuk kuliah," ujarnya.
"Saya mencoba yang terbaik untuk menghabiskan waktu sehari dalam satu waktu karena beberapa hari lebih baik daripada hari lainnya," jelasnya.
"Jika aku bisa melihat teman-teman dan orang yang kkusayangi tanpa harus pergi lebih awal karena merasa mual, atau berhasil mengikuti semua kelas dalam satu hari, aku melihat hal itu sebagai kemenangan dalam kamusku," tambahnya.
Tessa telah membuat akun Instagram bernama @livingwaterless untuk meningkatkan kesadaran tentang kondisi yang dialaminya.
(*)