Mengenal Mary Astell, Ibu yang Melahirkan Pemikiran Feminis, Mengkritik dan Menentang Pemikiran Pria Melalui Tulisan

Senin, 26 Agustus 2019 | 11:00
All Thats Interesting

Mary Astell, ibu dari gerakan feminis dan bukunya

Sosok.ID- Mary Astell adalah orang pertama yang mencetuskan gerakan feminis, sebelum Gloria Steinem dan Mary Wollstonecraft.

Walaupun kini ia tak begitu dikenal, namun Mary disebut sebagai "feminis pertama dari Inggris" atau lebih tepatnya proto-feminis dalam berbagai buku sejarah.

Semasa hidupnya, Mary telah menuliskan pemikirannya mengenai ketidakadilan terhadap kaum wanita pada masanya.

Terutama di bidang pendidikan.

Dia menjalani hidupnya sebagai wanita yang mandiri, di mana saat itu tidak lazim.

Baca Juga: Sosok Soedarpo Sastrosatomo, Kakek Mertua Lulu Tobing, Salah Satu Perunding Perjanjian Linggarjati Hingga Dirikan Perusahaan Pelayaran

Sebab, kebanyakan wanita pada umumnya telah disetir oleh ayah atau suami mereka.

Meskipun demikian, ia justru menjadi seorang filsuf dan orang yang disegani.

Bahkan ia mencatatkan dirinya sebagai pelopor untuk pemikiran feminis.

Profil

Mary Astell lahir di Newcastle, Inggris pada 12 November 1666.

Keluarganya berasal dari kalangan menengah yang menjual batu bara.

Baca Juga: Kisah Rahmadi, Dikurung di Dalam Kotak Selama 3 Tahun Oleh Orangtuanya, Kondisinya Memprihatinkan

Ia tak pernah mendapatkan pendidikan formal seperti kebanyakan gadis lain di masa itu.

Tetapi, beruntung ia mendapat pelajaran dari pamannya yang menempuh pendidikan di Universitas Cambridge, Ralph Astell.

Dari pamannya itu ia mendapatkan ilmu Cambridge Platonism, filosofi yang saat itu sedang tren.

Dari pelajaran itu, kemudian Mary memiliki pemikiran dengan ciri khas filosofi tersebut.

Pada 1678 ayahnya meninggal dan ia terpaksa harus tinggal bersama ibu dan bibinya.

Baca Juga: 3 Tahun Tinggalkan Keluarga Cendana, Lulu Tobing Akhirnya Resmi Dipersunting Cucu Juragan Kapal

Setahun kemudian, pamannya juga menyusul sang ayah, dan membuatnya harus bisa belajar sendiri.

Ia kemudian belajar secara autodidak dengan membaca apapun yang ada di hadapannya.

Dilansir All Thats Interesting, penulis biografi Mary, Ruth Perry menyebutkan, kehilangan figur laki-laki di usia muda dan tumbuh bersama sekelompok wanita mungkin yang menjadi salah satu faktor penting lahirnya pemikiran feminisnya.

Pindah ke London

Mary memutuskan untuk pindah ke London di usianya yang ke 22 tahun.

Setelah ibu dan bibinya meninggal saat ia masih berusia 20 tahun.

Baca Juga: Bak Ajang Permainan, Seekor Walabi Nyaris Mati Usai Ditembak Berulang Kali dan Dijadikan Lelucon oleh Sekelompok Remaja

Jiwa kemandirian dan tak adanya niat untuk menikah kemudian mendorong Mary untuk pindah, wlaupun keputusan itu dianggap tak lazim pada masanya.

Jika Mary adalah seorang pria, bisa saja ia melanjutkan ke perguruan tinggi karena pemikirannya cemerlang.

Bisa juga dihabiskannya di tempat ibadah dan menjadi imam lalu berkeliling ke daerah-daerah untuk memberikan ceramah.

Namun, untuk seorang wanita, hal itu sulit bahkan tak memungkinkan untuk terwujud.

Segera setibanya di London, Mary tinggal di pinggiran Chelsea, di mana banyak artis, intelek, hingga keluarga konglomerat menetap untuk menghindari bisingnya London.

Baca Juga: Anders Behring Breivik, Teroris yang Serang Oslo dan Tewaskan 77 Orang Namun Tak Mau Mengaku Bersalah

Lingkar pertemanannya adalah para sastrawan, salah satunya seorang wanita bernama Lady Catherine Jones.

Mary kemudian tinggal bersamanya hingga akhir hayatnya.

Seorang sejarawan bahkan menytebutkan jika persahabatan kedua wanita itu sangat dekat dan harmonis.

Perjalanan Mary melalui tulisan

Setibanya di London, ia mengirimkan dua puisinya pada William Sancroft, seorang Uskup Agung Cantenbury.

Dari situ, kemudian Mary dibimbing olehnya.

Baca Juga: Temui Tony Spilotro, Pembunuh Gangster Paling Kejam di Las Vegas, Menghabisi dengan Cara Menyiksa Perlahan

Hingga pada 1698, Mary menerbitkan buku dari kumpulan puisi yang didedikasikan untuk sang uskup agung.

Berbeda dengan wanita lainnya yang "kehilangan reputasi mereka" karena menulis hal-hal yang dinilai terlalu eksentrik, Mary justru aktif berpartisipasi di lingkungan para intelek.

Hal itu kemudian membuatnya mendapatkan pengikut.

Bahkan pada 1963, ia mengkritik salah satu teori seorang Platonis Cambridge bernama John Norris.

Selama menulis, Mary sering kali mengkritik pemikiran laki-laki.

Baca Juga: Bukan Maia Estianty, Inilah Sosok yang Selalu Dicari Oleh Dul Saat Bangun Tidur

Ia bahkan menantang apara filsuf politik pada masanya seperti Thomas Hobbes, John Locke, Earl of Shaftesbury, Daniel Defoe, dan Charles D'Avenant.

Karya tulis

Karya tulis yang dibuat Mary tak lepas dari pemikiran feminisnya.

Selama hidupnya, Mary telah menghasilkan enam buku dan dua artikel panjang yang membahas tentang pendidikan, politik, dan agama.

Namun, semua karyanya itu berisi dasar-dasar feminisme yang mengutuk keadaan yang menyedihkan bagi kaum wanita pada masa itu.

Mary menganggap pendidikan bagi wanita pada masa itu bagaikan "Bunga Tulip di Taman" di mana fungsinya hanya sebatas "enak dipandang tapi tak ada gunanya".

Baca Juga: Goliath Tabuni Geram Usai Viral Video Oknum Polwan Kirimi Mahasiswa Papua di Bandung 2 Dus Miras: Kalian Pikir Kami Pemabuk

Buku yang paling mengesankan adalah A Serious Proposal to the Ladies for Advancement of True and Greatest by Lover of Her Sex yang diterbitkan pada 1694 dan 1697.

Dalam bukunya itu, ia menuangkan gagasan mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum wanita.

Bahkan pemikirannya itu sempat membuat Putri Anna untuk mewujudkan pendidikan bagi wanita, tapi tak jadi dilaksanakan karena kondisi saat itu tak memungkinkan.

Adapun, Mary juga mengungkapkan pemikirannya mengenai pernikahan.

"Seorang wanita tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biologisnya,"ujar Mary mengutip All Thats Interesting.

Baca Juga: Sisi Lain Hingar Bingar Las Vegas, Para Gelandangan di Sana Hidup Layak di Gorong-gorong Kota

"Mereka tak memiliki alasan untuk tetap menjadi istri, atau menjadi pelayan seorang suami, tidak ada untungnya bagi dunia," bantahnya.

Adapun kutipan paling terkenal darinya:

"Jika semua laki-laki terlahir menjadi bebas, bagaimana mungkin wanita terlahir sebagai budak?

Seperti yang seharusnya jika menjadi sasaran dari tindakan laki-laki yang tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang, menjadi kondisi perbudakan yang sempurna?"

Akhir hayat

Sebelum meninggal, Mary sempat mendirikan sebuah sekolah khusus perempuan di Chealsea pada 1709.

Baca Juga: Sosrokartono, Kakak Kartini Nan Jenius yang Menguasai 26 Bahasa Sampai Jadi Wartawan Pribumi Pertama

Ia bersama Lady Catherine juga yang menjadi pengajar di sekolah tersebut.

Hal itu membuatnya sibuk hingga ia harus menderita kanker payudara dan meninggal pada 1731.

Diduga, ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di sebuah kamar di samping peti matinya sendiri di sebuah pengasingan.

Mary Astell kemudian dikenal sebagai ibu dari gerakan feminis dan membuatnya terkenal di kalangan politikus dan filsuf.

(*)

Editor : Tata Lugas Nastiti

Sumber : All Thats Interesting

Baca Lainnya