Sosok.id - Hingga kini, Tini Susanti Kaduku masih tetap menolak tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Istri pemimpin teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Ali Kalora itu masih mendekam di tahanan.
Tepatnya di Lapas Wanita Klas II Malang.
Dilansir dari Surya Malang, Tini membeberkan pengalamannya terkait ke-Indonesia-an.
Semasa kecil, Tini mengaku juga ikut merayakan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat ia berusia 10 tahun, ia bahkan mengikuti perlombaan.
Seperti, lomba makan kerupuk yang ia ikuti ketika masih tinggal di Poso, Sulawesi Tengah.
"Waktu kecil hanya main-main saja. Tidak merasakan apa-apa saat 17 Agustus, mungkin karena masih kecil," cerita Tini, mengutip Surya Malang Sabtu (17/8/2019).
Ia tak terlalu banyak bicara saat ditemui di lapas.
Saat ditanya mengenai makna peringatan hari kemerdekaan baginya,
"Tidak ada," jawabnya singkat.
Istri narapidana terorisme
Suami Tini, Ali, adalah narapidana kasus terorisme yang ditangkap pada Oktober 2016 lalu.
Ali menggantikan posisi Santoso yang telah tewas tertembak Satgas Tinombala.
Tini alis Umi Fadel tengah hamil besar saat penangkapan.
Namun, ia juga sedang mengungsi ke rumah adik iparnya di Desa Moengko Lama, Poso.
Sebelumnya, ia bahkan memilih untuk hidup di Gunung Biru menemani sang suami.
"Awalnya saya pikir hanya tiga hari saja ke gunung karena Santoso menelepon dan bilang kalau suami saya sakit.
Tapi saat mau turun, TNI terus datang, saya takut. Akhirnya suami tidak izinkan saya pulang," katanya.
Peran Tini
Jaksa menjelaskan peran Tini dalam jaringan terorisme tersebut pada persidangan.
Tini memiliki peran sebagai fasilitator pertemuan antara Santoso dan istrinya, Jumiatun alias Umi Delima.
Pada September 2014, Santoso mengirim pesan melalui media sosial Facebook kepada Tini.
Akun bernama Madu Hutan itu mengirim pesan pada Tini untuk meminta bantuan.
Agar Tini menjemput Jumiatun di rumah kosnya.
Masih menggunakan metode yang sama, Santoso juga meminta Tini untuk menjemput istri Basri, Nurmi.
Baca Juga: Geronimo, Orang yang Pertama Kali Dilabeli Pemerintah Amerika Serikat Sebagai Teroris
Sebab, Basri juga ingin bertemu istrinya itu.
Selain itu, Tini juga dimintai bantuan mencari pengasuh untuk anak Santoso, saat Jumiatun menyambangi kelompok MIT ke gunung.
Menurut keterangan Tini, jaringan terorisme yang dipimpin suaminya itu kini semakin melemah.
Sebab, jaringan itu telah kehilangan banyak pasukan dan stok amunisi sudah menipis.
Selain itu, satu-satunya orang yang memiliki keahlian militer hanyalah suaminya seorang.
"Waktu di sana, cuma suami saya kok yang pegang senjata. Yang lain tidak," katanya.
Tini divonis bersalah
Pada 5 Juli 2017, Pengadilan Jakarta Timur memvonis Tini bersalah.
Sebab, ia telah melindungi suaminya yang tergabung dalam kelompok teroris MIT.
Ia divonis dengan pidana penjara selma tiga tahun.
"Tidak apa-apa. Waktu itu saya pasrah saja. Saya terima," kata Tini.
Ia juga senang melihat teman-temannya mendapat remisi atau pengurangan tahanan.
Bertepatan dengan momen hari kemerdekaan ini.
Baca Juga: Aneka Lomba Menyambut HUT RI ke 74, Dari Lomba Pakaian Adat Hingga Lomba Tarik Lokomotif Kereta
"Tapi saat 17 Agustus, saya selalu senang melihat teman-teman saya diberi remisi. Saya senang jika melihat mereka senang," terangnya.
Oktober mendatang, Tini akan segera menghirup udara bebas.
Ia pun mengungkapkan keinginannya untuk berwirausaha usai menjalani masa tahananan nanti.
"Saya ingin mempraktekkan ilmu yang saya peroleh di lapas. Saya di sini bikin kue, sudah bisa bikin lima resep. Mohon doanya ya," ujarnya.
Menolak tunduk pada NKRI
Selama mendekam di penjara, Tini belum pernah mendapatkan remisi.
Bertepatan dengan hari kemerdekaan ini pun, ia tak mendapatkan masa pengurangan tahanan.
Sebab ia masih menolak untuk mengakui NKRI.
Masih dilansir dari Surya Malang, Kalapas Wanita Klas II A Malang, Ika Yusanti membenarkan hal ini.
"Tini tidak dapat pengurangan masa tahanan kali ini," ungkap Ika, mengutip Surya Malang Sabtu (17/8/2019).
Berdasarkan keterangannya, Tini tak diberikan remisi karena ia belum mau tunduk pada NKRI.
Bahkan, surat pernyataan yang diajukan oleh lapas, ia tolak.
"Untuk napiter ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah surat pernyataan tunduk pada NKRI. Nah Tini ini menolak," terangnya.
Selain itu, penyidik juga belum memberikan keterangan kooperatif.
"Salah satunya juga penyidik harus memberikan keterangan kooperatif terhadap penyidikan. Nah penyidik Tini ini belum," ucapnya.
Pada peringatan kemerdekaan 2019 ini, sebanyak 412 narapidana di Lapas Wanita Klas I A Malang mendapatkan remisi.
Remisi yang diberikan beragam, mulai dari satu bulan hingga enam bulan.(*)