Sosok.ID - Sudah menjadi pengetahuan umum bila Panjat Pinang merupakan salah satu perlombaan yang paling sering diadakan untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI.
Selain mengundang tawa dan menarik untuk disaksikan, Panjat Pinang kerap kali menjadi perlombaan saat HUT RI yang mengajarkan pentingnya kerja sama kelompok untuk mencapai keberhasilan.
Namun apa jadinya bila perlombaan yang kerap diadakan saat HUT Kemerdekaan RI ini ternyata memiliki sejarah gelap pada masa penjajahan Belanda dulu?
Baca Juga: Tak Kuat Bayar Tagihan Berobat yang Membengkak, Pasangan Lansia Pilih Nekat Bunuh Diri Bersama
Dilansir Sosok.ID dari Warta Kota, Panjat Pinang telah menjadi tradisi rakyat untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI.
Lomba panjat pinang merupakan salah satu perlombaan paling ikonik yang dilaksanakan pada hari perayaan kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana tidak, sekelompok pria harus memanjat batang pohon pinang yang telah diolesi minyak atau oli.
Alhasil peserta harus memiliki strategi dan kerja sama yang baik agar bisa menggapai hadiah yang digantung di pucuk tiang.
Selain membutuhkan ketangkasan dan kerja sama yang baik, perlombaan Panjat Pinang menjadi salah satu tradisi yang dinanti-nanti para warga.
Sebab, di balik kesulitan yang mereka hadapi saat memanjat sebuah batang pinang berlumur oli, seabrek hadiah berharga menanti mereka di puncak.
Baca Juga: Bukan Dikubur, Ritual Orang Anga Papua yang Memajang Mayat Sampai Tercium Aroma Khas Jenazah
Mulai dari sepaket bahan pokok hingga barang elektronik seperti televisi atau kompor.
Namun di balik kemeriahan rupanya tradisi panjat pinang ini memiliki sejarah yang cukup gelap bagi bangsa Indonesia.
Tidak banyak yang tahu, melansir Kompas.com, tradisi panjat pinang ini telah ada sejak masa penjajahan Belanda.
Baca Juga: Komedian Dede Sunandar, Rela Jual Organ Demi Kesembuhan Anaknya yang Idap Williams Syndrome
Tradisi ini digelar sebagai salah satu pertunjukan hiburan umum bagi para kaum kolonial.
Panjat Pinang hanya bisa diadakan pada peristiwa-peristiwa penting seperti hajatan, hari libur nasional atau hari ulang tahun tokoh penting Belanda.
Tradisi ini hnya boleh diikuti oleh penduduk pribumi dengan para bangsawan Belanda sebagai penonton.
Penajajah Belanda akan memasang batang pohon pinang yang telah dilumuri oli atau pelicin secara vertikal.
Pada bagian puncak, mereka menggantung berbagai macam hadiah seperti bahan pokok atau pakaian.
Lalu pada masa itu, para penduduk pribumi akan berlomba-lomba memanjat batang pohon pinang dan memperebutkan hadiah yang telah disediakan.
Diketahui pada masa itu, kebanyakan bangsa pribumi tidak mampu membeli sembako atau pun pakaian.
Sehingga hadiah-hadiah yang digantungkan para kompeni di puncak batang pinang adalah barang mewah yang bakal mereka dapatkan meski harus mati-matian.
Sehingga tidak heran bila usaha para pribumi yang berusaha mendapatkan barang tersebut berubah menjadi aksi saling baku hantam.
Menariknya, usaha keras penduduk pribumi untuk memanjat pohon pinang pada masa itu dijadikan hiburan bagi para bangsawan Belanda.
Para bangsawan Belanda akan tertawa menyaksikan 'kebodohan' penduduk pribumi yang memperebutkan barang yang dianggap sepele leh mereka.
Bukan rahasia umum lagi bila tradisi Panjat Pinang justru berubah menjadi lelucon bagi para penjajah Belanda.
Melansir Kompas.com, tradisi panjat pinang sempat menjadi salah satu perlombaan yang pro kontra saat menyambut HUT RI.
Beberapa orang berpendapat bila perlombaan panjat pinang tak seharusnya dijadikan tradisi untuk menyambut HUT RI.
Hal ini dikarenakan acara tersebut diperkenalkan oleh penjajah dan menjadi bahan tontonan bagi mereka.
Perlombaan ini hanya membawa memori pahit dari masa lalu.
Pemusik Harry Roesli kepada harian Kompas juga pernah menyuarakan kontra terhadap perlombaan panjat pinang.
Menurut dia, ada kenyataan "kelas sosial" di lingkungan masyarakat pada perayaan kemerdekaan.
Orang kaya cenderung hanya menyumbang saja dan tidak ikut kegiatannya.
"Kalaupun ikut kegiatannya paling-paling hanya ikut pertandingan catur saja.
Sementara dalam proses bergaul itu sebenarnya ada isi hati lain.
Si orang kaya menyumbang supaya ia bisa hidup aman di lingkungan itu. Supaya tidak ada yang menjarah hartanya," tutur Harry seperti dikutip Sosok.ID pada harian Kompas, edisi18 Agustus 2002 silam via Kompas.com.
(*)