Profil Presiden China Tiga Periode Xi Jinping, Sosok Bapak Revolusi China Setelah Mao Zedong dan Deng Xiaoping?

Selasa, 25 Oktober 2022 | 13:48
kremlin.ru/Wikimedia Commons

Presiden China Xi Jinping.

Sosok.ID -Partai Komunis China makin luas dan kuat.

Partai ini memiliki lebih dari 96 juta anggota, dan daftar resmi pahlawan dan martir partai menghitung dua juta nama dari mereka yang dikenang karena kehidupan dan kematian heroik mereka.

Dalam perluasan struktur politik PKC, hanya sedikit yang telah menyelesaikan perjalanan panjang ke eselon atas partai.

Dan di antara mereka yang telah mencapai puncak hierarki partai, hanya empat nama yang telah dilantik sebagai pemimpin “inti” partai: Mao Zedong, Deng Xiaoping, Jiang Zemin dan tambahan terbaru, Presiden Xi Jinping.

Beberapa juga berpendapat bahwa hanya Mao, Deng, dan Xi yang layak dianggap sebagai pemimpin yang benar-benar 'hebat' karena status "inti" Jiang diwariskan daripada diperoleh.

Acara partai minggu ini yang sangat terstruktur di Aula Besar Rakyat China di Beijing tidak hanya menamakan Xi sebagai presiden untuk tiga periode, tapi juga mengakuinya sebagai pemimpin terkuat partai sejak Mao yang memimpin selama 27 tahun sampai kematiannya di tahun 1976.

"Semua orang terdiam," ujar Xuezhi Guo, penulis The Politics of the Core Leader di China.

"Hampir tidak ada perlawanan, tidak ada verifikasi dalam kepemimpinan partai lagi," ujar Guo yang juga profesor ilmu politik di Guilford College di AS dilansir dari Al Jazeera.

"Atmosfer seluruh China sekarang adalah siapapun membicarakan atau mendiskusikan mengenai keburukan Xi Jinping akan mendapat masalah. Itu masalahnya," ujarnya.

Walaupun masih terdengar aneh, diakuinya Xi oleh partai sebagai pemimpin utama partai adalah kesaksian hubungan dekatnya dengan anggota partai sekarang, veteran partai, dan militer China yang kuat, papar Guo.

"Ketika pemimpin utama sudah ditunjuk sangat sulit bagi kekuatan lain dalam kepemimpinan partai melawan kekuatan pemimpin utama sejak posisi tersebut terbentuk," jelasnya.

Mao, Deng, dan Xi mencapai posisinya sekarang lewat pengakuan oleh anggota partai bahwa mereka telah menjadi pusat fungsi partai dan tambahan lagi untuk nasib China dan rakyatnya, tambah Guo.

Xi Jinping telah dipastikan menjabat tiga periode, dan kali ini "dia jauh lebih kuat dan lebih berkuasa."

Di sinilah bahaya untuk Xi Jinping muncul, karena tidak ada yang berani menantang atau mengkritiknya, Guo menjelaskan atmosfer di partai telah terfokus mendukung Xi sehingga menciptakan "peran semaunya."

Guo mengatakan kesalahan Mao Zedong seharusnya dipelajari Xi Jinping.

"Tidak ada yang mampu meyakinkan Mao saat itu, tidak ada yang menantangnya saat itu, membuatnya melakukan kesalahan dalam masa revolusinya."

Sosok Mao 'yang baru'

Mao memimpin China mencapai kemenangannya dalam perang sipil di tahun 1949 dan dipertimbangkan menjadi pemimpin utama "generasi pertama" partai.

Foto raksasa Mao mengenakan baju kebesarannya masih dipajang di Gerbang Tiananmen, di jantung kota Beijing.

Penulis Frederick Teiwes mengatakan jika Mao melakukan "membentuk ulang" China.

Dalam bukunya "Politics at the 'Core'", Teiwes menggambarkan Mao sebagai sosok revolusioner dan visioner dan bagi yang terdekat dengannya dia adalah 'kaisar' maha kuat yang seluruh kata-katanya "selalu dipatuhi bahkan ketika dia meluncurkan inisiatif yang menghancurkan individu, organisasi, maupun kepentingan nasional."

Mao bangkit menjadi 'pemimpin hampir seperempat umat manusia' dan kekuatannya hanya mampu dikalahkan oleh kaisar terkuat China, menurut penulis biografi Philip Short.

Di bawah kepemimpinan Mao satu generasi mengalami perubahan di mana China mencapai perubahan yang baru dicapai Barat selama berabad-abad lamanya, menciptakan 'Loncatan Besar' dari masyarakat feodal yang tidak berubah selama berabad-abad lamanya menjadi masyarakat sosialis, dan dari negara yang awalnya direndahkan oleh kekuatan Imperialis menjadi Kekuatan Besar dengan bom atom dan kursi di Dewan Keamanan PBB.

Namun revolusi itu tidak lahir tanpa pengorbanan, karena Partai Komunis China menciptakan pembantaian berdarah serta kebijakan pertanian dan ekonomi yang menghancurkan.

Dari bencana kelaparan yang diperparah oleh 'Loncatan Besar ke Depan' sampai kekerasan Revolusi Budaya, korban kebijakan Mao dalam masalah jumlah "telah dilampaui oleh seluruh korban yang meninggal dunia dalam Perang Dunia II," tulis Short.

"Kepemimpinannya membawa kematian lebih banyak rakyatnya dibandingkan pemimpin lain dalam sejarah," tambahnya.

Namun dampaknya, China siap membuat awal yang baru, demikian pula dengan kepemimpinan partai yang baru.

Mereka telah lelah dengan revolusi dan menginginkan stabilitas serta jaminan.

Deng Xiaoping muncul jadi pemimpin generasi pragmatis ini.

Pembantaian--atau pembersihan--selama Revolusi Budaya, dan untuk kedua kalinya yang terjadi di tahun 1970 tidak membuat Deng diturunkan dari jabatannya, dan rehabilitasi politiknya menuntunnya mencapai posisi pemimpin tertinggi China di tahun 1978 dan juga pewaris gelar pemimpin utama.

Deng disebut Teiwes sebagai "seorang pragmatis," yang kemudian menjadi "arsitek besar reformasi China dan memiliki otot politik untuk menggerakkan negaranya menuju "arah umum pemasaran dan keterbukaan" kepada dunia.

Kekuasaan kemudian berpindah dari Deng kepada Jiang Zemin yang secara resmi dianggap sebagai pemimpin utama partai generasi ketiga, tapi dirinya tidak dianggap sebagai salah satu pemimpin besar partai, menurut Guo.

Hal yang sama juga terjadi pada Hu Jintao, dan meskipun karir partainya moncer, dia tidak pernah dianggap sebagai pemimpin utama.

Dengan reputasi Jiang untuk kebesaran malah dipertanyakan dan Hu sama sekali tidak dianggap, akhirnya di tahun 2016 Xi dianggap secara bersama menjadi pemimpin utama partai, empat tahun setelah dirinya memimpin partai di saat muncul ancaman atas keberhasilannya.

Guo menggambarkan, korupsi terjadi di semua birokrat di semua tingkat di saat Xi ditunjuk jadi ketua partai tahun 2012 lalu, dan dirasakan di antara anggota partai bahwa rezim akan runtuh kecuali ada sosok yang maju dan bertanggung jawab.

"Keseluruhan pemimpin, termasuk para pemimpin yang sudah pensiun, mencari pemimpin yang kuat, sosok seperti Mao yang bisa berfungsi dan bekerja seperti seorang patriarki," tulis Guo.

Xi Jinping memenuhi kriteria tersebut.

Kampanye Xi Jinping tentang anti-korupsi masih berlanjut 10 tahun setelah kampanye itu dimulai, dan lebih dari 1.5 juta pejabat telah menghadapi hukuman atas dosa mereka.

Fokus untuk investigasi juga jatuh paling berat pada musuh politik Xi, yang makin membuat posisi Xi moncer.

"Harimau dan lalat" yang diusir, atau para pejabat serta pegawai administrasi yang terlibat korupsi mendapat perlakuan hukuman yang sama, membuat Xi mendapat dukungan yang besar dari rakyatnya.

Secara ekonomi dirinya meluncurkan inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), strategi perkembangan infrastruktur global China yang membuat Beijing menginvestasikan uang dan pendanaan di hampir 150 negara dan proyek-proyek yang menghubungkan Asia Tengah dengan Asia Selatan, Asia Tenggara, bahkan Afrika.

Selanjutnya keberhasilan Xi yang paling menonjol adalah keberhasilannya menghapus kemiskinan di China.

Xi dilaporkan berhasil mengentaskan 60 juta warganya dari kemiskinan ekstrim selama 10 tahun berkuasa, membuatnya mendapat makin banyak dukungan.

Namun, Xi dianggap telah melakukan beberapa kesalahan.

Ketua Asia Policy Program di University of Texas, Austin, Amerika Serikat, Sheena Chestnut Greitens, serta Jeane Kirkpatrick, dosen pengajar di American Enterprise Institute, mengatakan meningkatnya status Xi yang disetarakan dengan Mao dan Deng telah menjadi proyek puluhan tahun lamanya.

"Dalam narasi Partai Komunis China, jika warisan Mao adalah revolusi, dan warisan Deng adalah reformasi serta keterbukaan, maka warisan Xi adalah 'peremajaan nasional," papar Greitens kepada Al Jazeera.

Namun ada beberapa standar untuk mengukur keberhasilan Xi mencapai targetnya, dan warisannya tidak hanya akan bergantung pada yang telah dilakukannya tapi juga kepada bagaimana dunia melihat kebijakan yang dikejar untuk meremajakan China.

Peremajaan ini sayangnya dicapai dengan salah satunya merebut kembali Taiwan.

Greitens menyebut tantangan signifikan yang dihadapi Xi adalah ekonomi yang melambat dan rencana Beijing menerapkan Inisiatif Keamanan Global, yang bertujuan menempatkan China di posisi terdepan pertahanan internasional di luar struktur yang sudah ada.

Tantangan Xi mendirikan ini adalah Xi seharusnya meningkatkan keamanan bagi China, bukan menciptakan musuh baru yang menyerang mereka.

Sayangnya, pendekatan China dalam melakukan ini adalah lewat cara agresif di Laut China Selatan, sebuah kebijakan yang dianggap sembrono.

Ian Johnson, seorang rekan senior untuk studi China di Council on Foreign Relations (CFR), juga mencatat tantangan ekonomi dan kebijakan luar negeri ke depan bagi Xi, yang selama masa jabatannya telah memupuk munculnya diplomasi “prajurit serigala” yang tidak malu-malu. jauh dari menyatakan persaingan eksplisit China dengan Barat.

Menggambarkan kebijakan seperti itu sebagai “canggung”, Johnson mengatakan bahwa pendekatan agresif China di Laut China Selatan telah mengasingkan tetangga terdekatnya sementara diplomat “pejuang serigala” telah menyenggol negara-negara yang pernah melihat kebangkitan China sebagai hal yang ramah dan menyambut untuk mengkalibrasi ulang persepsi mereka tentang Beijing.

Pemeliharaan nasionalisme China oleh Xi juga telah menyebabkan perasaan umum bahwa Barat adalah musuh, dan permusuhan serupa terhadap China dan orang-orang China juga sedang berlangsung di AS, kata Guo.

“Suasana seperti itu mendorong banyak sikap bermusuhan terhadap orang-orang Tiongkok, dan bukan hanya untuk Partai Komunis Tiongkok,” katanya, seraya menambahkan bahwa sekarang hampir ada ekspektasi konflik di Asia.

“Itu tidak terlalu bagus untuk pertumbuhan China, tidak terlalu bagus untuk kebangkitan China”, tambahnya.

Baca Juga: Pernyataan Sosok Terkuat China Jadi Acuannya, ASEAN Bersiap-siap Persaingan AS-China Meledak

Tag

Editor : May N