Sosok.ID - Beberapa waktu lalu, pemerintah Korea Selatan dihebohkan dengan kabar salah satu warganya melintasi perbatasan.
Warga itu tak diketemukan, dan diduga sampai di Korea Utara.
Setelah dilakukan penyelidikan, terkuak fakta bahwa pria yang menyebrang ke Pyongyang pada minggu lalu itu adalah seorang pembelot.
Pembelot tersebut melarikan diri dari Korea Utara yang miskin sekitar setahun lalu.
Tapi kehidupan di Korea Selatan sama buruknya, atau malah lebih buruk sampai dia memutuskan kembali ke Korea Utara yang tidak sejahtera.
Dilansir dari Al Jazeera, pejabat mengatakan dalam berita yang rilis Selasa (4/1/2022).
Informasi mengenai hal ini menjadi perdebatan. Banyak yang bertanya-tanya mengenai bagaimana Seoul memperlakukan pembelot dari Korea Utara.
Pasalnya, pembelot keluar dari Pyongyang adalah demi merajut mimpi baru dan hidup lebih baik, keluar dari kemiskinan dan tekanan pemerintah otoriter.
Aneh jika keinginan itu berujung pada bersusah payah kembali menempuh perjalanan panjang dengan segudang risiko untuk sampai di Korea Utara.
Seorang pejabat militer Korea Selatan mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pembelot yang kembali itu merupakan seorang pria berusia 30-an tahun.
Pejabat yang tak disebutkan namanya itu mengatakan, pembelot tersebut hidup miskin saat bekerja sebagai petugas kebersihan di ibu kota Korea Selatan, Seoul.
"Saya akan mengatakan dia diklasifikasikan sebagai kelas bawah, nyaris tidak mencari nafkah," kata pejabat tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut dengan alasan privasi.
Situs web NK News juga mengutip seorang pejabat Korea Selatan yang mengatakan bahwa pria itu "memiliki kehidupan yang sulit" di rumah barunya di Seoul.
Pejabat itu menepis kekhawatiran bahwa mantan pembelot itu bisa jadi mata-mata Korea Selatan, dengan mengatakan pria itu tidak memiliki pekerjaan yang akan memberinya akses ke informasi sensitif.
Militer Korea Selatan, yang mendapat kecaman karena pelanggaran perbatasan, telah meluncurkan penyelidikan tentang bagaimana pria Korea Utara itu menghindari penjaga meskipun tertangkap kamera pengintai beberapa jam sebelum melintasi perbatasan.
Sementara itu, pejabat Korea Utara belum mengomentari insiden tersebut.
Kantor berita Korea Selatan Yonhap melaporkan bahwa polisi di distrik Nowon, Seoul Utara yang memberikan perlindungan keselamatan dan perawatan lain kepada pembelot itu telah menyuarakan keprihatinan pada bulan Juni atas kemungkinan dia kembali ke Korea Utara.
Tetapi dikatakan, seruan itu tidak mendapat respon karena dinilai kurang bukti.
Polisi Korea Selatan pun menolak berkomentar mengenai hal ini.
Seorang pejabat di Kementerian Unifikasi Seoul yang menangani urusan lintas batas mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka yang kembali telah menerima dukungan pemerintah untuk keselamatan pribadi, perumahan, perawatan medis, dan pekerjaan.
Yonhap melaporkan, pembelot yang pulang ke Korea Utara itu jarang berinteraksi dengan tetangga, dan terlihat membuang barang-barangnya sehari sebelum dia melintasi perbatasan.
“Dia mengeluarkan kasur dan tempat tidur ke tempat pembuangan sampah pada pagi itu, dan itu aneh karena semuanya terlalu baru,” kata seorang tetangga seperti dikutip Yonhap.
“Saya berpikir untuk memintanya memberikannya kepada kami, tetapi akhirnya tidak melakukan itu, karena kami tidak pernah menyapa satu sama lain.”
Hingga September 2021, sekitar 33.800 warga Korea Utara telah bermukim kembali di Korea Selatan, menempuh perjalanan panjang dan berisiko (biasanya melalui China), dalam mengejar kehidupan baru sambil melarikan diri dari kemiskinan dan penindasan di rumah.
Kementerian Unifikasi menyebut, sejak 2012, hanya 30 pembelot yang dipastikan telah kembali ke Utara.
Tetapi para pembelot dan aktivis mengatakan mungkin ada lebih banyak kasus yang tidak diketahui di antara mereka yang berjuang untuk beradaptasi dengan kehidupan di Selatan.
Dalam sebuah survei yang dirilis bulan lalu oleh Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara dan Penelitian Sosial NK di Seoul, sekitar 18 persen dari 407 pembelot yang disurvei mengatakan mereka bersedia untuk kembali ke Utara, kebanyakan dari mereka karena nostalgia.
“Ada berbagai faktor yang kompleks termasuk kerinduan akan keluarga yang ditinggalkan di Utara, dan kesulitan emosional dan ekonomi yang muncul saat bermukim kembali,” kata pejabat Kementerian Unifikasi.
Ia lebih lanjut berjanji untuk memeriksa kebijakan dan meningkatkan dukungan bagi para pembelot. (*)