Sosok.ID - Sebuah kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah tapi muak dengan perilaku pemerintah serta polisi yang dianggap korup.
Hal itu terjadi di kota kecil ini yang mengklaim berdiri tanpa negara yang menaungi wilayah tersebut.
Kota tersebut bernama Cheran, sebuah wilayah kecil yang berada di negara bagian Michoacan, Meksiko saat ini.
Masyarakat kota tersebut mengklaim mereka berdiri sendiri tanpa negara dengan dipimpin perempuan lokal.
Mereka bangkit untuk mempertahankan hutan dari penebang bersenjata, dan mengusir polisi serta politisi pada saat bersamaan.
Kota berpopulasi 14.245 jiwa ini dulu dikuasai geng-geng kartel narkoba, yang tak segan melakukan kekerasan bahkan mencabut nyawa orang dalam menjalankan aksinya.
Selama bertahun-tahun warga Cheran mendapat berita pembunuhan dan penculikan hampir setiap hari, yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng dengan memeras usaha-usaha kecil.
Kemudian, selama lebih dari tiga tahun warga menyaksikan langsung truk demi truk melewati rumah mereka dengan tumpukan kayu ilegal.
Baca Juga: Percaya Kota Ini Diserang Setan, 300 Orang Korbankan Diri Dilempari BatuDemi Sumbangkan Darah Mereka
Tak hanya itu saja, pepohonan yang berada di hutan sekitar kota tersebut juga ditebangi oleh kartel Meksiko.
Namun akhirnya pada tahun 2011 silam para penebang semakin nekat hingga membuat salah satu mata air di Kota Cheran terancam ekosistemnya.
"Kami khawatir," ujar Margarita Elvira Romero, salah satu tokoh perlawanan masyarakat, dikutip dari BBC pada 13 Oktober 2016.
"Kalau Anda menebang pohon, air akan berkurang. Para suami kami punya ternak, ke mana mereka akan minum jika mata airnya hilang?"
Jumat 15 April 2011, pemberontakan Cheran yang juga dikenal sebagai levantamiento, dimulai.
Di jalan turunan dari hutan di luar rumah Margarita, para warga perempuan mencegat truk-truk yang akan mengangkut kayu, dan menyandera beberapa sopirnya.
Lonceng gereja El Calvario dan kembang api kemudian menyala di langit subuh, pertanda bahaya bagi masyarakat Cheran.
Warga setempat langsung berlarian untuk membantu. Suasana sangat tegang waktu itu.
"Semua orang di jalanan berlarian membawa parang," kata Melissa Fabian yang saat itu berusia 13 tahun.
"Para perempuan berlarian. Mereka semua menutup wajahnya. Anda bisa mendengar orang-orang berteriak, dan lonceng gereja berbunyi sepanjang waktu."
Kedatangan polisi bersama Walikota untuk meredam kemarahan warga pun tak membuahkan hasil.
Tak lama usai kekacauan itu, polisi dan politisi lokal diusir karena warga curiga mereka kongkalikong dengan jaringan kriminal.
Partai politik juga dilarang sampai sekarang, karena dianggap menyebabkan perpecahan di masyarakat.
Masing-masing dari empat distrik Cheran lalu memilih perwakilan sendiri untuk dewan kota.
Margarita, Melissa, dan Heriberto yang sama-sama penduduk asli Cheran menerangkan, warga kota itu bisa kompak karena memiliki solidaritas kuat.
Mayoritas penghuni Cheran adalah penduduk asli, dan adat setempat menyatakan orang-orang hanya menikahi warga setempat, sehingga hanya sedikit orang luar.
Keluarga besar pun menjadi dekat, kenal satu sama lain, dan menjadi dasar solidaritas kota.
Fenomena Cheran ini menjadi anomali di Michoacan, negara bagian yang paling banyak kasus pembunuhan sadisnya di Meksiko.
Di Michoacan beberapa kali terjadi pemenggalan kepala, atau granat yang dilemparkan ke tengah kerumunan orang di alun-alun.
Pada Juli 2016 saja ada lebih dari 180 kasus pembunuhan di Michoacan, tertinggi selama hampir 10 tahun.
Di sekitar Cheran sendiri, dalam radius tak sampai 10 km, kasus penculikan, pemerasan, dan pembunuhan adalah pemandangan sehari-hari.
Meski begitu, Cheran tidak terpengaruh. Kota kecil ini bahkan bisa membuat warganya nyaman dan bebas beraktivitas. (*)