Sosok.ID - Jatuhya Sriwijaya Air SJ 182 mengingatkan tentang banyaknya insiden kecelakaan pesawat di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Indonesia bahkan masuk dalam jajaran ranking 10 besar untuk negara dengan kecelakaan sipil terbanyak sejak tahun 1945.
Media asing lantas menyoroti, bahwa Indonesia memiliki banyak faktor penyebab kecelakaan udara.
Mulai dari cuaca di Indonesia yang sangat tidak stabil, hingga kelalaian maskapai dan awak kabin.
Tragedi Sriwijaya Air SJ 182 sontak kembali membuka memori kelam tentang insiden penerbangan di Indonesia.
Sebelumnya, kecelakaan besar juga terjadi saat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh pada 29 Oktober 2018.
Menurut data dari Aviation Safety Network, sebelum jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182 ada 697 korban kecelakaan pesawat di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, termasuk pesawat militer dan pribadi.
Lalu kenapa pesawat Indonesia sering jatuh?
Menurut media Amerika Serikat (AS) Bloomberg dalam artikel berjudul "Jet Crash Adds to Long List of Aviation Disasters in Indonesia", ada dua faktor utama yang menyebabkan insiden itu.
Pertama, faktor cuaca buruk bisa menjadi penyebabnya.
"Indonesia, salah satu negara kepulauan terluas di Bumi, dengan pulau-pulau yang berjajar sepanjang London hingga New York, memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir terbanyak," tulis Bloomberg.
Media yang didirikan pada 1 Oktober 1981 itu juga menyebutkan, kota Bogor pernah mengalami badai petir selama 322 hari dalam satu tahun pada 1988.
"Ada juga letusan gunung berapi, yang memuntahkan gumpalan abu ke udara yang bisa tersedot mesin jet, menyebabkan kerusakan," lanjut Bloomberg dalam artikelnya pada Minggu (10/1/2021).
Media yang berbasis di New York itu mencontohkan letusan Gunung Agung di Bali pada 2019, yang membuat sejumlah penerbangan dialihkan dan dibatalkan.
Faktor cuaca sendiri juga berdampak pada tertundanya penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 selama 1 jam.
Kedua, Bloomberg mengungkap faktor komunkasi sebagai penyebab kenapa pesawat Indonesia sering jatuh.
Contohnya insiden AirAsia pada Desember 2014 yang berangkat dari Surabaya.
Pilot Indonesia dan kopilot dari Perancis gagal menangani kendala di auto-pilot, sehingga pesawat terjun ke laut.
Bloomberg menutup pemberitaannya dengan data pesawat Boeing 737-500 yang mengalami 8 kecelakaan dengan total 220 korban tewas, menurut Aviation Safety Network.
Kombinasi faktor ekonomi, sosial, dan geografi
Media AS lainnya, Associated Press atau yang biasa disingkat AP, menyebut ada tiga alasan di balik pesawat Indonesia sering jatuh.
"Ini karena kombinasi dari faktor ekonomi, sosial, dan geografi," tulis AP di artikel berjudul "EXPLAINER: Why Indonesia’s plane safety record is a concern", Senin (11/1/2021).
AP juga menyoroti maraknya Low Cost Carrier (LCC) di Indonesia yang menjadi opsi murah untuk terbang, meski masih banyak wilayah kurang memiliki infrastruktur yang aman.
"Industri ini memiliki sedikit regulasi atau pengawasan pada tahun-tahun awal booming penerbangan Indonesia," tulis AP.
Mengutip data dari Aviation Safety Network, sejak 1945 ada 104 kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia dan korban tewasnya sebanyak 2.301, terbanyak di Asia dan di urutan 8 dunia.
Salah satu dampaknya, maskapai Indonesia sempat dilarang masuk AS pada 2007-2016 karena satu atau lebih faktor, seperti keahlian teknis, personel terlatih, prosedur pencatatan dan pemeriksaan.
"Uni Eropa juga menerapkan larangan serupa dari 2007 hingga 2018," lanjut AP.
Meski begitu, media yang berdiri sejak 1846 tersebut juga menerangkan bahwa belakangan ini kondisi mulai membaik di dunia aviasi Indonesia.
"Kemajuan industri ini meningkat signifikan dan pengawasan menjadi lebih ketat," kata pakar penerbangan dan pemimpin redaksi AirlineRatings.com, Geoffrey Thomas, kepada AP.
Kemajuan itu antara lain inspeksi yang semakin intens, regulasi yang lebih kuat, fasilitas dan perawatan yang lebih baik, dan pilot yang semakin terlatih.
"Badan Penerbangan Federal AS memberi Indonesia peringkat Kategori 1 pada 2016, yang berarti menetapkan negara tersebut mematuhi standar keselamatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional," imbuh AP menguraikan.
AS sebelumnya pernah menurunkan peringkat keamanan penerbangan Indonesia ke Kategori 2 pada 2007-2016.
Jika Bloomberg dan AP menyoroti penyebab kecelakaan pesawat di Indonesia secara keseluruhan, Channel News Asia (CNA) dan New York Times mempertanyakan kondisi pesawat dan kru yang baru kembali setelah "libur panjang" selama pandemi virus corona.
"Maskapai ini (Sriwijaya Air) pada akhir 2019 mengakhiri kemitraan selama setahun dengan maskapai nasional Garuda Indonesia, dan beroperasi secara independen," tulis CNA pada Minggu (10/1/2021).
Dalam artikel berjudul "Sriwijaya Air crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight", CNA juga menyebutkan separuh lebih armada Sriwijaya Air sempat dikandangkan Kementerian Perhubungan karena faktor kelaikan terbang.
Namun pimpinan maskapai Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1/2021) menyebut pesawat SJ 182 beroperasi dalam kondisi baik.
Dikandangkannya pesawat-pesawat selama awal pandemi virus corona lalu disorot New York Times.
Dikatakan bahwa para pilot merasa mulai dari awal lagi setelah jeda sebulan, ujar Captain Rama Noya, Ketua Asosiasi Pilot Indonesia yang juga penerbang Sriwijaya Air.
Kesulitan untuk mendapatkan sentuhan terbaik masih dialami, meski Sriwijaya Air memiliki dua simulator penerbangan untuk model 737 yang lebih tua, tulis NYT.
"Mental kru terpukul karena pemotongan gaji akibat pandemi, dan dengan jam terbang bulanan rendah, kinerja kru harus diperhatikan," ucap pakar aviasi indepen Indonesia, Gerry Soejatman, yang dikutip New York Times.
"Sebelum pandemi, para pilot Indonesia, terutama di maskapai LCC seperti Lion Air, mengatakan mereka dipaska menerbangkan pesawat yang mereka rasa tidak aman," ungkap media pemenang 130 Pulitzer Prize itu dalam artikel berjudul "Indonesia Crash Thwarts Push to Rehabilitate Country’s Airlines".
Pengalaman terbang jurnalis CNN
CNN dalam artikel "Flying in Indonesia is a necessity to travel ... but it can also be a terrifying experience", menuliskan pengalaman jurnalisnya, Ivan Watson, saat terbang dengan maskapai Indonesia.
"Meski terlalu dini untuk berspekulasi tentang apa yang menyebabkan bencana Sriwijaya Air, dan perlu dicatat bahwa maskapai ini memiliki catatan keamanan yang baik dengan tidak ada korban di dalam pesawat dalam 4 insiden yang tercatat di database Aviation Safety Network, bagiku ini membawa kembali kenangan yang tidak nyaman, yang membicarakan masalah keselamatan penerbangan secara luas di Indonesia," tulisnya.
Watson menceritakan pengalamannya menaiki Sriwijaya Air pada Oktober 2019, yang mengalami guncangan beberapa saat setelah lepas landas dari Bandara Kalimarau, Berau, Kalimantan Timur.
"Pesawat tampak tua, dengan kain pelapis tipis dan meja baki plastik retak yang mengingatkanku pada pesawat tua di Rusia pada 1990-an setelah pecahnya Uni Soviet."
Baca Juga: Ada Potongan Tubuh Ditemukan yang Diduga Milik Penumpang Sriwijaya Air SJ182
Tak lama kemudian pesawat berhasil mendarat dengan aman di Balikpapan, tetapi Watson bersama koleganya dari CNN masih syok.
Kemudian untuk insiden Sriwijaya Air SJ 182, Watson masih menanti hasil penyelidikan jatuhnya pesawat.
Ia juga mengaku tidak kapok mengunjungi Indonesia, dan berharap setelah pandemi virus corona usai bisa kembali melawat ke Tanah Air.
Seperti diketahui, Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di Kepulauan Seribu, tepatnya di sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki pada Sabtu (9/1/2021) itu membawa 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi, dan 12 kru.
Pesawat yang jatuh ini berjenis Boeing 737-500 dengan kode registrasi PK-CLC, dan sempat hilang kontak beberapa menit usai lepas landas. (*)
Sumber: Kompas.com.