Sosok.ID - Hari ini, lima tahun lalu pada 6 Januari 2016, insiden kasus kopi Sianida dengan tersangka Jessica Kumala Wongso terjadi.
Kasus tersebut menjadi perbincangan sejagat negeri, dimana korban bernama Wayan Mirna Salihin tewas setelah menenggak kopi di sebuah kafe.
Setelah proses penyelidikan yang panjang, Jessica dditetapkan sebagai tersangka.
Dalam pemeriksaan polisi ditemukan sekitar 3,75 miligram sianida dalam tubuh Mirna.
Kronologinya adalah, pada 6 Januari 2016, Mirna, Jessica dan seorang teman lain bernama Hani Boon Juwita berjanji untuk bertemu di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Jessica yang tiba di lokasi lebih dulu, memesan tiga minuman.
Satu es kopi vietnam untuk Mirna dan dua cocktail untuk dirinya dan Hani.
Tak lama berselang setelah Mirna datang, ia meminum kopi tersebut yang ternyata mengandung racun mematikan, sianida.
Perempuan 27 tahun itu pun langsung kejang-kejang dan tak sadarkan diri.
Mulutnya juga mengeluarkan buih. Mirna meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Perjalanan proses hukum kasus kematian Mirna dan misteri di dalamnya
Setelah melakukan penyelidikan mendalam, termasuk melihat rekaman kamera CCTV, memeriksa Jessica, Hani, keluarga Mirna, dan pegawai kafe Olivier sebagai saksi, polisi pun menetapkan tersangka.
Jessica ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Januari 2016 karena diduga menaruh racun sianida dalam kopi yang ia pesan untuk Mirna.
Pada 16 Februari 2016, pihak Jessica mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, namun gugatan tersebut ditolak dengan alasan salah alamat.
Persidangan kasus tersebut untuk pertama kalinya digelar pada 15 Juni 2016.
Butuh 32 kali persidangan sebelum akhirnya hakim memutuskan Jessica bersalah dan dihukum 20 tahun penjara pada 27 Oktober 2016.
Sejumlah kriminolog menilai kasus kematian Mirna sebagai kasus yang pelik karena tidak ditemukan bukti yang secara langsung menunjukkan bahwa Jessica lah yang membunuh Mirna.
Tidak diketahui apakah Jessica benar-benar menaruh sianida ke dalam minuman Mirna.
Adapun CCTV Kafe Olivier hanya merekam kegiatan Jessica memindahkan gelas kopi Mirna sebanyak dua kali dan seperti sedang mengambil sesuatu dari tasnya.
Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan polisi hanya mengedepankan alat bukti berupa keterangan dari beberapa pihak yang saling kait-mengait.
Sementara alat bukti yang secara langsung menunjukkan bahwa Jessica adalah pelakunya dinilai masih kurang.
"Kasus itu memang pelik. Kaitan pelik dalam konsep pembuktian di mana alat-alat bukti yang secara langsung menuju pada si pelaku, masih kurang," ujar Bambang kepada Kompas.com, Selasa (2/2/2016).
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menyatakan berkas perkara Jessica lengkap setelah polisi melimpahkan 37 barang bukti, termasuk rekaman CCTV dan keterangan saksi-saksi.
Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica dalam persidangan mengatakan rekaman kamera CCTV tidak bisa digunakan sebagai alat bukti primer.
"Tindak pidana utamanya harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang digunakan untuk kejahatan itu sendiri. Tidak bisa hanya sekunder, harus yang primer karena itu yang menentukan," ujarnya di PN Jakarta Pusat 29 September 2016.
Kuasa Hukum Polda Metro Jaya, Nova Irone Surentu, mengatakan meski tidak ada bukti langsung bahwa seseorang melakukan pembunuhan, ia tetap bisa ditetapkan sebagai tersangka dengan bekal bukti lain, seperti keterangan saksi-saksi.
"Polisi dari pemeriksaan kan bakal dapat petunjuk, yang nantinya semua dirangkai, dikuatkan dengan bukti-bukti lain. Jadi tidak perlu harus ada bukti orang lihat langsung, atau tepergok begitu," tutur Nova.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menggunakan bukti tak langsung dalam memutuskan Jessica bersalah telah melakukan pembunuhan berencana kepada Mirna.
"Secara formal untuk membuktikan tindak pidana, tidak perlu ada saksi mata. Apabila terdakwa menggunakan instrumen racun yang dimasukkan ke dalam minuman maka tidak perlu ada orang yang melihat orang memasukkan racun."
"Maka hakim dapat menggunakan circumstance evidence atau bukti tak langsung," kata Ketua Majelis Hakim Kisworo saat membacakan putusan, Kamis (27/10/2016).
Bukti tak langsung dalam putusan tersebut termasuk siapa yang memesan, siapa yang menguasai minuman, dan ada gerak-gerik mencurigakan.
Jessica telah melakukan upaya hukum hingga mengajukan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, namun upaya tersebut ditolak.
Jessica hingga kini masih mendekam di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Hakim memberikan vonis 20 tahun penjara karena Jessica dianggap bersalah dan memenuhi unsur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana. (*)
Sumber: Kompas.com
(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)