Sosok.ID - Perselisihan di Laut China Selatan telah mengancam konflik global karena China dan AS berjuang untuk supremasi di wilayah tersebut.
Seorang ahli bahkan mengklaim perang menjadi prospek yang sangat mungkin terjadi antar dua negara besar tersebut.
Seperti diketahui, China secara kontroversial telah menguasai sebagian besar wilayah di Laut China Selatan.
Hal ini terjadi karena klaim Sembilan Garis Putusnya, sebuah demarkasi yang diyakini Tiongkok sebagai perairannya.
Baca Juga: Capek-capek Gaet Simpati Negara ASEAN, AS Ditabok Fakta Asia Tenggara Ogah Memihaknya maupun China
Laut China Selatan sangat diperebutkan karena memiliki jalur pelayaran yang menguntungkan.
Kapasitas untuk keuntungan militer di wilayah tersebut juga strategis, dimana kekayaan sumber daya alam seperti minyak dan mineral pun tumpah ruah.
Melansir Express.co.uk, salah satu wilayah yang menjadi konflik adalah gugusan pulau seperti Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
China saat ini memiliki hubungan yang sangat tegang dengan Vietnam dan Filipina atas pulau-pulau di wilayah tersebut.
Klaim pulau itu sendiri dianggap penting, sebab di bawah UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) yang dinegosiasikan di masa lalu, tidak ada ketentuan yang memberikan kepemilikan perairan tanpa memperhatikan hak kedaulatan berbasis lahan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dampak Zona Eksklusi Ekonomi (ZEE) dari masing-masing negara, sesuatu yang tidak selalu dihargai oleh China.
Oriana Skylar Mastro, seorang asisten profesor studi keamanan di Universitas Georgetown, menyoroti bahwa China telah menjadi lebih agresif di wilayah Laut China Selatan.
"Sampai saat ini, konflik sebagian besar telah dihindari karena China telah menggunakan langkah-langkah pemaksaan ekonomi dan diplomatik untuk memperluas dan mengkonsolidasikan kontrolnya atas Laut China Selatan," ungkapnya, pada bulan Mei lalu.
"Namun, dalam beberapa bulan terakhir, China mulai lebih mengandalkan sarana militer untuk secara agresif menegaskan klaim China," tambahnya.
Konflik atas wilayah tersebut kian sengit saat sebuah laporan yang dirilis pada bulan Februari mengklaim adanya kapal Angkatan Laut China yang mengarahkan "radar pengendali tembakan" ke kapal Angkatan Laut Filipina di lepas pantai Commodore Reef di Kepulauan Spratly.
Klaim tersebut dibantah Tiongkok. Mereka mengaku tak mengarahkan moncong ke arah musuh di Laut China Selatan.
Negara yang dipimpin oleh Xi Jinping ini juga dituduh memanfaatkan krisis virus corona untuk menegaskan dominasi lebih lanjut di Laut China Selatan.
Sementara AS berupaya untuk menghentikan ambisi Beijing di wilayah tersebut.
Washington membuat tuduhan itu pada bulan April ketika beberapa sumber melaporkan bahwa pasukan China meningkatkan patroli dan latihan angkatan laut di perairan yang diperebutkan.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Kami menyerukan kepada RRT (Republik Rakyat China) untuk tetap fokus dalam mendukung upaya internasional untuk memerangi pandemi global dan berhenti mengeksploitasi gangguan atau kerentanan negara lain untuk memperluas klaimnya yang melanggar hukum di Laut China Selatan. "
Hal itu dijawab oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi, yang menyebut tuduhan AS soal pemanfaatan pandemi untuk menguasai Laut China Selatan tak berdasar.
"Tidak ada yang mendukung klaim bahwa China menggunakan COVID-19 untuk memperluas kehadirannya di Laut China Selatan," ungkap Wang Yi.
"Telah menjadi perhatian kami bahwa beberapa kekuatan politik di AS menyandera hubungan China-AS dan mendorong kedua negara kami ke ambang Perang Dingin yang baru," lanjutnya.
Peringatan ini menggemakan sentimen yang dibuat oleh pakar Profesor Kerry Brown, yang mengatakan kepada Express.co.uk November lalu bahwa komunikasi antara pasukan China dan Amerika lebih buruk daripada ketegangan yang diciptakan selama Perang Dingin yang terjadi antara AS dengan Uni Soviet.
"Saat ini dialog antara AS dan militer Chinaterjadi dengan buruk, beberapa orang mengatakan bahwa itu lebih buruk daripada antara USSR dan AS selama Perang Dingin," tandasnya. (*)