Sosok.ID - Seorang ahli pengendalian penyakit yang terkemuka di China mengkonfirmasi bahwa pejabat Wuhan sengaja menutupi skala awal wabah virus corona.
Dilansir Sosok.ID dari Daily Mail, ialah Profesor Yuen Kwok-yung, yang mengunjungi bekas episentrum virus corona pada Januari 2020 untuk membantu mendiagnosis kasus Covid-19.
Ia mengatakan kepada BBC bahwa pemerintah setempat menghancurkan bukti fisik dan memberikan respons 'lambat' terhadap temuan klinis.
"Saya curiga mereka telah menutupi secara lokal di Wuhan," katanya.
Baca Juga: Tak Gunakan Masker, Warga Korea Utara Bakal Dihukum Kerja Paksa Selama 3 Bulan oleh Kim Jong Un
"Para pejabat setempat yang seharusnya segera menyampaikan informasi tidak mengizinkan hal itu dilakukan secepat yang seharusnya."
China telah menghadapi skeptisisme yang meluas tentang keaslian dan transparansi angka Covid-19 di negaranya.
Ini bukanlah pertama kalinya pakar dari Hong Kong itu mempertanyakan penanganan pemerintah terhadap virus corona.
Mikrobiolog berusia 63 tahun itu mengatakan pada bulan Juni 2020 bahwa jumlah kasus Covid-19 yang sebenarnya di Hubei bisa mencapai 2,2 juta, atau 32 kali lipat dari jumlah resmi yang dikonfirmasi pemerintah.
Dia dan timnya dari Universitas Hong Kong mengumumkan temuan tersebut setelah menganalisis dari orang-orang Hong Kong yang kembali dari provinsi tersebut, di mana Wuhan adalah ibu kotanya.
Tetapi studi mereka dikecam oleh outlet media pemerintah China yang mempertanyakan apakah Prof Yuen membantu Amerika Serikat melumuri Beijing atas pendemi tersebut.
Profesor Yuen sendiri terlibat dalam diagnosa awal dan investigasi penyakit mematikan tersebut di Wuhan.
Dia mengunjungi kota berpenduduk 11 juta jiwa itu dalam misi eksplorasi pada 17 Januari 2020 atas nama Komisi Kesehatan Nasional China.
Dia menemani Dr Zhong Nanshan, pemimpin tim ahli virus corona Beijing serta George Gao, kepala CDC China, selama perjalanan, lapor outlet media China, Caixin.
Kelompok ahli inilah yang mengkonfirmasi penularan virus dari manusia ke manusia yang menyebabkan Wuhan melakukan lockdown.
Untuk penelitian mereka, Prof Yuen dan timnya mengumpulkan sampel dari dari 452 penduduk Hong Kong setelah mereka kembali dari berbagai kota di Hubei pada awal Maret 2020, menurut universitas mereka.
Penelitian mereka menemukan bahwa 17 dari mereka atau 3,8 persen membawa antibodi terhadap Covid-19.
Setelah menerapkan tingkat antibodi untuk seluruh populasi Hubei, yang mencapai 58,1 juta, tim menemukan ada sekitar 2,2 juta penduduk yang harusnya telah terinfeksi Covid-19 pada awal Maret 2020.
Prof Yuen dan timnya menerbitkan studi mereka awal bulan lalu di The Lancet Microbe, sebuah jurnal akses terbuka.
Angka infeksi resmi Hubei, bagaimanapun, secara signifikan lebih rendah.
Pemerintah provinsi mengatakan ada total 67.802 orang yang telah dites positif virus corona pada 31 Maret sementara angka infeksi terbaru adalah 68.135.
Ini berarti temuan Prof Yuen adalah 32 kali lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan pemerintah Hubei baik dari bulan Maret atau hari ini.
Upaya ilmiah para peneliti itu dikritik oleh koran pemerintah China The Global Times.
Surat kabar itu mengangkat pertanyaan apakah Prof Yuen adalah 'bantuan asing paling kuat' untuk Amerika Serikat, menyarankan agar ia melakukan penelitian untuk membantu Washington.
Pemerintahan Trump menuduh Beijing menutupi skala sebenarnya dari wabah virus corona dan asal-usul patogen itu.
Tetapi tuduhan tersebut ditolak Beijing dengan tegas.
Laporan Global Times menantang motif penelitian Prof Yuen, mengutip posting Facebook yang ditulis oleh Stanley Ng Chau-pei, seorang politisi pro-Beijing di Hong Kong.
Ng menuduh Prof Yuen memeras pihak berwenang dengan 'mempolitisasi ilmu pengetahuan dan opini publik'.
Dia mengecam sang ilmuwan karena menggunakan 400 sampel aneh untuk menyimpulkan jumlah kasus seluruh Hubei, alih-alih menggunakan angka resmi dari pemerintah.
(*)