Mantan Diplomat Jepang Berujar Agar Indonesia Bersatu Dengan Negara Lain Jika Ingin Melawan China di Natuna Utara

Jumat, 17 Januari 2020 | 08:00
Tribunnews

Mantan Diplomat Jepang Berujar Agar Indonesia Bersatu Dengan Negara Lain Jika Ingin Melawan China di Natuna Utara

Sosok.ID - Hubungan Indonesia-China belakangan ini memanas lantaran tindakan sepihak negeri Tirai Bambu di Natuna Utara.

Coast Guard China terang-terangan mengklaim perairan Natuna Utara sebagai wilayah kedaulatan mereka.

Tentu hulu balang republik tak membiarkan hal itu terjadi, TNI siaga tempur di Natuna demi menjaga agar marwah negara tak diinjak semena-mena oleh bangsa asing.

Memanasnya hubungan Indonesia dengan China, membuat Inggris pun ikut bersuara.

Melalui Menteri Inggris untuk Asia Pasifik, Heather Wheeler mengungkapkan negara-negara yang terlibat konflik Laut China Selatan seharusnya patuh terhadap hukum.

“Kami yakin bahwa seluruh pihak yang terlibat harus mematuhi hukum laut internasional,” kata Wheeler di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Rabu (16/1/2020) seperti dikutip dari Antara.

Baca Juga: Psikopat, Seorang Wanita Pergoki Mantan Pacar Menguntit Dirinya dengan Tinggal di Loteng Rumah Selama 12 Tahun

Ketertarikan China soal Laut china Selatan, imbuhnya mengakibatkan negara Tirai Bambu ini bukan hanya berkonflik dengan Indonesia saja.

China tercatat menerima sejumlah protes dari sejumlah negara lantaran ia menjadi satu-satunya pihak yang berpedoman pada Nine dash Line.

"Kami mengharapkan pihak-pihak terkait agar mengambil langkah hukum yang tepat serta tidak ada lagi masalah pengambilan lahan yang tidak patut.

Namun, sekali lagi, masalah yang terjadi harus diselesaikan melalui mekanisme hukum," ujar Wheeler menegaskan.

Sembilan garis

Sembilan garis putus-putus yang dipercayai China merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China sendiri tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).

Sebelumnya, Indonesia bukanlah bagian dari pihak yang bersengketa dengan China soal Laut China Selatan.

Baca Juga: Terjerat Kasus Investasi Bodong, Polisi Beberkan Inisial Anggota Keluarga Cendana yang Terlibat di Dalamnya

Adapun, pihak yang sebelumnya bersengketa adalah Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan.

Namun, masih dari sumber yang sama, Indonesia dan China terlibat silang pendapat usai 50 perahu nelayan China yang dilindungi kapal penjaganya memasuki Laut Natuna karena menganggap Natuna bagian dari perairan tradisionalnya.

Indonesia kemudian mengajukan nota protes yang dilayangkan ke pihak Beijing.

Protes tersebut ditanggapi dengan penyebutan dari pihak Beijing bahwa ada tumpang tindih otoritas di perairan Natuna.

Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri secara tegas menegaskan tak ada “overlapping yurisdiction” di perairan Natuna.

Natuna bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS.

Sikap rivalitas

Sementara itu, pakar geopolitik asal Jepang Kunihiko Miyake menilai seharusnya Indonesia bisa membangun kerja sama dengan negara-negara lain yang sama-sama menghadapi masalah klaim China.

“Kita tidak seharusnya mengkonfrontasi China sendiri-sendiri karena China negara yang terlampau kuat.

Baca Juga: Bucin Akut, Remaja Dibodohi Nenek Peyot Umur 42 Tahun yang Pintar Bersolek, Uang Miliaran Amblas

Negara yang dia anggap seimbang, menurut saya, sejauh ini hanya Amerika Serikat,” kata Miyake dalam sebuah acara diskusi yang diadakan di Universitas Indonesia.

Mantan diplomat Jepang tersebut menyampaikan perselisihan dengan China sebaiknya tak diselesaikan dengan sikap rivalitas.

“Konfrontasi adalah hal terakhir yang kita inginkan. Yang dapat dilakukan saat ini adalah adanya upaya kolektif (collective effort) untuk mengimbangi dominasi China,” tambahnya.

Upaya kolektif tersebut disebutnya bisa dilakukan dengan kerja sama Indo-Pasifik sebagai pengingat bahwa dominasi dan hegemoni terhadap kawasan perairan tertentu bukanlah tujuan yang dikehendaki bersama.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Natuna, Menteri Inggris dan Pandangan Ahli Geopolitik Jepang..."

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya