Perang Dagang Indonesia vs Uni Eropa, Pemerintah Bakal Balas Perlakuan Negara-negara Benua Biru Atas Dilarangnya Sawit Indonesia

Jumat, 13 Desember 2019 | 11:40
Kontan.id

Perang Dagang Indonesia vs Uni Eropa, Pemerintah Bakal Balas Perlakuan Negara-negara Benua Biru Atas Dilarangnya Sawit Indonesia

Sosok.ID - Perang dagang antara Indonesia dengan negara-negara Eropa semakin sengit.

Pasalnya Uni Eropa tak mau sawit Indonesia merajalela di negara-negara mereka.

Lantas cara licik dilakukan Uni Eropa demi membendung sawit Indonesia masuk kesana.

Eropa bersiap menggugat Indonesia dalam hal dua komoditas penting: nikel dan kelapa sawit.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku tidak takut didugat Uni Eropa soal ekspor Nikel ke Word Trade Organization (WTO). Jokowi memastikan pemerintah siap menghadapi gugatan tersebut.

Demikian disampaikan Jokowi saat meresmikan ekspor perdana produk Isuzu Traga di PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI), Kawasan Surya Cipta, Karawang, Kamis (12/12/2019). "Kalau ada yang gugat kita hadapi. Jangan kita digugat, grogi," kata Jokowi dalam sambutannya.

Baca Juga: Aniaya Ayah Kandung Hingga Tewas, Pria Ini Justru Asik Tinggalkan Mayat 3 Hari Hingga Membusuk Untuk Bersepeda Keliling Kota, Alasannya Sepele!

Mantan wali kota Solo itu mengaku akan mempersiapkan kuasa hukum terbaik untuk memenangkan gugatan itu.

Ia bahkan mengaku akan menghadapinya dengan senyuman, dan mengaku bertambah semangat.

"Jangan (ketika) digugat kita keok. Kita keok karena kita gak serius," tambah Jokowi.

Selama ini, kata dia, ekspor Indonesia bergantung pada sektor komoditas. Misalnya sawit diekspor dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO), nikel berupa raw material atau bahan mentah, dan batu bara juga sama. Sehingga tidak ada nilai lebih.

Kemudian, pemerintah melakukan hilirisasi industri dari bahan mentah yang dimiliki, dimulai dari nikel.

Dimana komoditas yang diekspor menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Namun kebijakan itu justru digugat negara lain. "Kita stop yang namanya ekspor bahan mentah nikel," tandasnya.

Padahal, kata dia, jika ada hilirisasi atau manufaktur lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya akan terbuka. "Larinya ke situ, bukan ke mana-mana. Untuk kepentingan nasional, untuk nasional interest," katanya.

Hubungan perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa kian memburuk akibat komoditas kelapa sawit.

Pada hari Rabu (14/8/2019) Uni Eropa mulai mengenakan bea masuk sebesar 8-18% atas produk-produk biodiesel asal Indonesia.

Baca Juga: Baru Sebulan Nikah Langsung Cerai Gegara Suami Kepincut Pelakor, Wanita Ini Sudah Jadi Korban Ditikung Istri Aparat Sejak Malam Lamaran

Kebijakan tersebut diambil setelah Uni Eropa menuding pemerintah Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk biodiesel berbasis minyak kelapa sawit.

"Impor biodiesel bersubsidi dari Indonesia telah mengancam kerugian materiil pada industri Uni Eropa," tulis Komisi Eropa dalam Jurnal Uni Eropa, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (13/8/2019).

Meski demikian, sejatinya gesekan antara Indonesia dan Uni Eropa terkait sawit sudah dimulai sejak cukup lama.

Sebagaimana yang telah diketahui, Benua Biru merupakan salah satu blok ekonomi yang menaruh perhatian sangat besar terhadap isu-isu lingkungan. Tak heran mengingat sebagian besar negara-negara di Eropa masuk dalam kategori high-income economies, yaitu yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari US$ 12.376/tahun, berdasarkan data Bank Dunia (World Bank/WB).

Masyarakat yang tinggal di negara berpendapatan tinggi memang cenderung lebih mudah untuk menaruh perhatian pada isu-isu lingkungan. Pasalnya, kebutuhan 'perut' mereka sudah terpenuhi, sehingga punya waktu lebih untuk memikirkan hal lain. Berbeda dengan negara berkembang yang fokus utamanya adalah pertumbuhan ekonomi.

Komitmen Uni Eropa (UE) terhadap lingkungan sejalan dengan Protokol Kyoto, yaitu mengurangi emisi karbon sebesar 20%. Untuk itu, UE mengeluarkan kebijakan biofuel (biodiesel dan bioethanol) pertama yang dikenal sebagai Renewable Energy Directive (RED) pada tahun 2003 (2003/30/EC). Tujuannya adalah untuk menggantikan posisi energi fosil dengan energi terbarukan.

Uni Eropa memasang target penggunaan biofuel untuk transportasi sebesar 2% pada tahun 2005 dan 5,75% pada tahun 2010.

Baca Juga: Gondok Nggak Mudeng Diajak Ngomong Bahasa Inggris, Pria Ini Cungkil Otak Seorang Wanita untuk Dijadikan Teman Makan Nasi

Akan tetapi kenyataan tidak seindah harapan. Pada tahun 2005, nyatanya Uni Eropa hanya mampu memenuhi 1,4% biofuel pada sektor transportasi. Penyebabnya, peraturan tersebut tidak bersifat mengikat alias sukarela.

Selanjutnya pada tahun 2007, Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Roadmap yang isinya merubah target yang sebelumnya telah ditetapkan. Salah satunya adalah 20% penggunaan energi terbarukan untuk total konsumsi energi pada tahun 2020, serta 10% biofuel untuk transportasi pada tahun 2020. Roadmap ini juga mengubah status 2003/30/EC menjadi mengikat dan wajib, sehingga dapat lebih mudah dikontrol.

Sejatinya saat itu, hubungan dagang Indonesia dengan Uni Eropa semakin bagus. Pasalnya negara-negara Eropa boleh melakukan cara apapun untuk memenuhi target biofuel, termasuk impor dari negara lain.

Namun kondisi tersebut berubah mulai tahun 2009. Saat Uni Eropa mulai merevisi peraturan RED (2003/30/EC) menjadi 2009/28/EC. Revisi tersebut mengatur syarat-syarat biofuel yang bisa digunakan di Uni Eropa. Salah satu poin yang paling penting adalah mengatur tentang bahan berkelanjutan (sustainable) yang bisa digunakan sebagai bahan baku biofuel.

Dijelaskan bahwa produk biodiesel harus terbuat dari bahan-bahan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Uni Eropa tidak akan memperhitungkan biofuel yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Salah satu yang dianggap merusak lingkungan adalah tanaman yang ditanam pada lahan bekas pembabatan hutan yang dilakukan pasca Januari 2008. Ada pula aturan teknis mengenai spesifikasi bahan baku, proses pembuatan, hingga dampaknya untuk mengurangi efek gas rumah kaca.

Syarat-syarat tersebutlah yang selanjutnya menuai polemik. Pasalnya banyak pihak beranggapan bahwa syarat tersebut merupakan bentuk hambatan perdagangan non-tarif.

Jelas saja, dengan adanya syarat yang sangat sulit untuk diadaptasi oleh produsen, Uni Eropa seakan sudah membatasi negara-negara yang boleh memasukkan biofuel ke Benua Biru.

Contohnya, petani sawit Indonesia yang biasa mengirim minyak sawit ke Uni Eropa (untuk bahan baku biodiesel) kan tidak bisa sekonyong-konyong merelokasi lahan tanam. Terlebih saat itu beredar anggapan bahwa sawit Indonesia telah berkontribusi sangat besar terhadap perusakan hutan (deforestasi).

Baca Juga: Gondok Nggak Mudeng Diajak Ngomong Bahasa Inggris, Pria Ini Cungkil Otak Seorang Wanita untuk Dijadikan Teman Makan Nasi

Selain itu, minyak sawit yang mau masuk ke Uni Eropa juga harus melalui proses sertifikasi yang berbelit-belit.

Terlebih mulai tahun 2016, Uni Eropa merancang target-target baru dalam kebijakan energi terbarukan, yang dikenal sebagai RED II.

Dalam RED II ditetapkan bahwa target penggunaan energi terbarukan pada tahun 2030 naik menjadi 32% dari yang semula 27%. Diatur pula kontribusi beberapa kategori biofuel sehingga tidak melebihi konsumsi tahun 2019. Kategori yang dimaksud adalah yang memiliki risiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land-Use Change/ILUC), serta tanaman yang mengalami ekspansi area produksi secara signifikan.

Baca Juga: Mengaku Enggak Pernah Punya Bisnis Sampingan, Tapi Menteri Jokowi yang Senang Belajar di Kuburan Itu Akui Kekayaannya Bertambah dan Miliki Rumah Mewah. Berapa Nilai Hartanya Sekarang?

Bahkan dalam aturan tersebut disebutkan bahwa minyak kelapa sawit dikategorikan sebagai bahan yang tidak berkelanjutan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel.

Penggunaan sawit akan dikurangi secara bertahap hingga habis sama sekali pada tahun 2030.

Peraturan tersebut mulai tertuang dalam revisi RED II 2018/2001/EU, pada Desember 2018 dan diberlakukan Komisi Eropa pada Maret 2019.

Hal itulah yang membuat Indonesia dan Malaysia, sebagai penghasil 85% sawit dunia naik pitam.

Baca Juga: Ingin Hidup Tenang, Pria Ini Justru Diganggu Suara Bising Dari Balik Tembok Rumahnya, Setelah Dibongkar Ia Terkejut Hingga Harus Amankan Dirinya

Khususnya di Indonesia, industri sawit merupakan lapangan usaha lebih dari 4 juta petani kecil. Kala ekspor dihambat dengan peraturan-peraturan non-tarif tersebut, akan ada banyak petani yang merasakan dampaknya.

Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyiapkan gugatan untuk Uni Eropa terkait diskriminasi sawit, seperti dikutip dari detikfinance. Gugatan akan dilakukan melalui World Trade Organization (WTO).

Sementara itu pemerintah juga telah menyampaikan nota keberatan kepada Uni Eropa atas pengenaan tarif terhadap produk-produk biodiesel. Namun hingga kini, Uni Eropa belum membalas nota keberatan tersebut.

Bila tidak ditanggapi, pemerintah sebelumnya diketahui telah menyiapkan sejumlah strategi balasan atas pengenaan tarif tersebut. Salah satunya adalah pengenaan tarif masuk untuk produk-produk susu asal Eropa. (Bayu)

Artikel ini pernah tayang di fotokita.grid.id dengan judul "Dulu Ratusan Tahun Kuasai Ekonomi Nusantara, Kini Jokowi Tak Mau Lagi Dijajah Bangsa Eropa. Begini Rencana yang Bakal Dilakukan Presiden"

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber : Fotokita.id

Baca Lainnya