Sosok.ID- Dalam sebuah pertandingan sepak bola terkadang tidak hanya sekedar sebuah permaianan atau olahraga belaka.
Namun didalamnya juga terselip gengsi baik dari kedua tim yang sedang bertandin maupun gengsi dari suatu kepentingan seperti dua pendukung yang berbeda.
Seperti halnya kisah pertandingan sepak bola yang pernah terjadi antar dua klub sepak bola ini yang kemudian memecahkan peperangan antar dua kubu yang berbeda.
Bahkan sebuah negara menjadi pecah hingga terbelah menjadi dua kubu atau dua negara walau awalnya adalah satu kebangsaan.
Kisah ini berawal dari sebuah sudut di area stadion Maksimir Kroasia terdapat sebuah patung legendaris.
Tepat berada di bawah patung tersebut terpahat tulisan yang diterjemahkanSosok.IDdalam bahasa Indonesia.
“Kepada pendukung klub ini, yang memulai perang dengan Serbia di stadion ini pada 13 Mei 1990.”
Patung itu menjadi sebuah bukti bagaimana loyalitas mendukung tim kesayangan yang berubah menjadi perjuangan rakyat meraih kemerdekaannya.
Jalur perjuangan bukan dipilih melalui diplomasi ataupun politik sekalipun, namun melalui tidaklah yang dikatakan menjunjung tinggi sportifitas, yakni olahraga.
MengutipdariIntisari, Pada kurun 1980-an rakyat Kroasia yang kala itu masih tergabung dalam negara Yugoslavia, telah gencar meneriakkan kemerdekaannya.
Ekspresi perjuangan tersebut melalui jalur olahraga dan suporter sepakbola menjadi pemantik semangat perjuangan.
Kala itu sepak bola menjadi suatu olahraga yang dapat mengumpulkan massa yang cukup banyak.
Bentuk ekspresi perjuangan tersebut berubah menjadi nasionalisme orang-orang Kroasia kala itu yang ditumpahkan dalam setiap pertandingan sepak bola.
13 Mei 1990 menjadi hari yang tak bisa dilupakan, ketika Red Star Berlgrade menghadapi Dinamo Zagreb dalam pertandingan sepakbola.
Pertandingan tersebut dikatakan sebagai salah satu dari sedikit hal yang mengubah dunia.
Tensi tinggi imbas dari partai politik pendukung kemerdekaan Kroasia menang dalam pemilihan umum terbawa ke dalam stadion.
Slobabodan Milosevic, pemimpin Serbia kala itu membawa sekitar 3.000 anggota Delije untuk hadir di Stadion Maksimir.
Kerusuhan telah dimulai bahkan sebelum peluit pertandingan dimulai.
Suasana menegangkan kedua suporter pendukung klub asal mereka menjadikan stadion sebagai arena nasionalisme.
Bad Blue Boys, suporter Dinamo Zagreb berulang kali melempari Delije dengan batu.
Tak lama, usai merobek papan iklan, pasukan Delije ganti menyerang Bad Blue Boys dengan kursi tribun dan belati.
Suporter mulai merangsek ke dalam lapangan, membuat pemain kedua kubu segera dievakuasi.
Namun, beberapa pemain Dinamo Zagreb tak itu masuk ke dalam ruang ganti.
Salah satunya adalah legenda Klub Italia, AC Milan bernama Zvonimir Boban.
Ia tetap di dalam lapangan guna membantu Bad Blue Boys.
“Di mana polisi? Di mana polisi?” teriak Boban, sebagaimana bisa kita tonton dalam film dokumenterThe Last Yugoslav Football Team.
Boban sangat berpengaruh, baik sebagai kapten Dinamo Zagreb maupun dalam perjuangan Kroasia.
Setelah kekacauan itu, polisi tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kekacauan, hingga perang kemerdekaan Kroasia dimulai.
Salah satu dalang di balik insiden tersebut adalah Zelijko Raznatovic, yang lebih dikenal sebagai Arkan.
Ia adalah seorang paramiliter, yang kemudian ditetapkan sebagai penjahat perang, yang menjadi panglima terkenal para penggemar sepak bola Red Star yang terkenal sebagai Delije.
Bersama sekitar 1.500 Delije, Arkan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap orang-orang Kroasia.
Arkan juga membentuk Garda Relawan Serbia, sebuah kelompok milisi yang penuh kekerasan dan mengintimidasi, yang sebagian besar isinya adalah Delije.
Mereka dikenal sebagai 'Arkan's Tigers' dan memulai teror sejak Perang Kemerdekaan sampai akhirnya bubar pada tahun 1996.
Secara resmi Kroasia menjadi sebuah negara yang merdeka pada 25 juni 1991.
Namun perang kemerdekaan tak surut bahkan banyak korban jiwa berjatuhan hingga tahun 1996.
Walaupun bukan sebagai pemicu utama kemerdekaan Kroasia, Namun peristiwa kerusuhan suporter sepak bola Dinamo Zagreb dan Red Star Belgrade adalah sebuah bukti.
Bahwa dari sepak bola bisa lahir nasionalisme sebuah negara. (*)