Sosok.ID - Siapa yang tak mengenal sosok Jenderal TNI jebolan Kopassus, Sintong Panjaitan?
Dilansir dari bukunya yang berjudul 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', Sintong Panjaitan adalah seorang Letjen TNI yang memiliki banyak prestasi gemilang di dunia militer.
Sejak lulus dari Akademi Militer Nasional atau AMN angkatan 63 dengan pangkat letnan dua, Sintong Panjaitan telah mengikuti 6 operasi tempur medan berat bersama dengan Kopassus.
Melansir Tribunnews, Sintong Panjaitan dikenal sebagai Letjen TNI yang tak pernah kenal takut.
Tidak sedikit pun pria kelahiran 4 September 1940 ini menunjukkan kegentaran sebagai seorang prajurit.
Kecuali dalam insiden yang terjadi antara dirinya dan Presiden Soeharto pada tanggal 23 Juli 1989 di Bali.
Pada kala itu, Sintong Panjaitan menjabat sebagai Panglima Kodam IX/Udayana dan tengah menjalani tugasnya mendampingi Menteri Hankam Benny Moerdani menemui Presiden Soeharto.
Saat itu Sintong Panjaitan yang dikenal sebagai prajurit tegas baru pertama kalinya menunjukkan ketakutan gara-gara dibentak oleh mantan presiden kedua RI tersebut.
Insiden ini bermula ketika Soeharto memintanya untuk mempersiapkan diri menghadapi Timor Timur.
Saat ditanya oleh Soeharto tentang sarannya menghadapi pemberontakan rakyat Timor Timur, Sintong Panjaitan pun langsung menyampaikan aspirasi rakyat.
Aspirasi rakyat tersebut berisikan permintaan kepada Soeharto untuk mengistimewakan wilayah Timor Timur seperti Jakarta, Aceh dan Yogyakarta.
Tak senang dengan jawaban Sintong, Soeharto pun langsung membentak Letjen TNI tersebut sampai membuatnya ketakutan.
Dilansir Sosok.ID dari Tribun Jatim, Sintong Panjaitan dan Benny Moerdani bukanlah orang sembarang di dunia militer Tanah Air.
Pada era Presiden Soeharto, Sintong Panjaitan dan Benny Moerdani adalah salah satu pejabat militer yang cukup disegani.
Kendati demikian ada momen dimana kedua pejabat militer yang paling disegani itu bersitegang hingga ceritanya masih diingat banyak orang.
Momen tersebut pun sempat kembali diceritakan Sintong Panjaitan dalam bukunya yang berjudul 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando'.
Dalam cerita itu, Sintong menulis bahwa dirinya pernah merasa amat sangat marah kepada Benny Moerdani saat Panglima ABRI tersebut diketahui menolak memakai baret merah yang menjadi ciri khas prajurit Kopassus.
Momen tersebut terjadi pada tahun 1985 pada saat upacara pemberian anugerah gelar Warga Kehormatan Baret Merah.
Kala itu, anugerah gelar Warga Kehormatan Baret Merah diberikan kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia, Sultan Iskandar.
Gelar ini diberikan lantaran Sultan Iskandar sangat bersimpati kepada Korps Baret Merah Tanah Air.
Sebagai Warga Kehormatan Tentara Diraja Malaysia, Sultan Iskandar juga pernah mengikuti pelatihan komando di Pusat Pendidikan Para Komando di Batujajar, Bandung pada tahun 1960.
Baca Juga: Peristiwa Kudatuli, Saat DPP PDI Megawati Soekarnoputri Tak Diakui Oleh Pemerintah Indonesia
Untuk merealisasikan pemberian anugerah Warga Kerhormatan Baret Merah tersebut, maka pelaksaan tersebut dilaksanakan di Markas Kopasssus yang ada di Cijantung.
Adalah Benny Moerdani yang ditunjuk sebagai pemberi gelar anugerah dalam upacara tersebut.
Setengah jam sebelum acara dimulai, Sintong Panjaitan yang kala itu menjabat sebagai Komandan Kopassus menemui Benny Moerdani di belakang panggung.
Dalam pertemuannya, Sintong memberikan baret merah yang ada di atas meja kerjanya kepada Benny Moerdani.
"Ini baret merah bapak yang akan bapak pakai dalam upacara nanti," kata Sintong seperti yang dikutip Sosok.ID dari bukunya via Tribun Jatim.
Benny Moerdani pun menerima baret merah tersebut tetapi raut wajahnya menunjukkan ekspresi masam.
Usai menerima baret merah dari tangan Sintong Panjaitan, Benny Moerdani langsung melempar benda tersebut ke hadapan sang Komandan Kopassus lalu meluncur jatuh ke lantai.
Saat itu baik Benny Moerdani maupun Sintong Panjaitan tak ada yang mengucapkan satu patah kata pun.
Suasana pun mendadak berubah kaku, tak ada yang berani bicara sama sekali.
Melihat hal itu, Sintong pun mengambil kembali baret merah yang menjadi lambang Kopassus tersebut dan meletakkannya di atas meja.
Sintong Panjaitan yang merasa tersinggung dengan sikap Benny Moerdani pun langsung marah.
Menurutnya sikap Benny Moerdani itu sama sekali tak menunjukkan etika sebagai Panglima ABRI.
"Pak Benny tidak dapat dipisahkan dari Korps Baret Merah. Bapak dikenal sebagai orang pertama Korps Baret Merah. Jadi aneh kalau bapak tidak berkenan memakai baret merah," ucap Sintong emosi.
Ekspresi wajah Benny Moerdani yang mendengar ucapan Sintong Panjaitan berubah menjadi serius dan angker.
Kendati demikian, Benny Moerdani tetap menggunakan baret tersebut selama upacara berlangsung.
Usai upacara, Benny Moerdani barulah mengaku apa yang menjadi alasannya melempar baret merah yang menjadi lambang Kopassus tersebut.
"Saya sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tidak akan memakai baret merah lagi, setelah saya menerima perintah keluar dari RPKAD (kini dikenal Kopassus). Saya sudah meninggalkan Cijantung," kata Benny Moerdani seperti yang ditirukan Sintong.
Belakangan diketahui, apa yang dilakukan oleh Benny Moerdani tersebut berawal dari kekecewaannya.
Saat itu, Komandan RPKAD (kini dikenal Kopasssus), Moeng Parhadimuljo mengeluarkan seorang anggota yang kakinya diamputasi.
Anggota tersebut adalah Lettu Agus Hernoto yang juga merupakan teman Benny Moerdani di RPKAD.
Padahal, kaki Agus harus diamputasi seusai pertempuran melawan Marinir Belanda dalam Perjuangan Trikora merebut Irian Barat.
Benny kemudian menyampaikan keresahan akan nasib temannya itu dalam rapat staf di Mako RPKAD.
Dalam perkembangannya, tepatnya pada tanggal 5 Januari 1965, Benny Moerdani justru disuruh memenuhi panggilan Menteri/Panglima AD Letjen Achmad Yani di MBAD.
(*)