Sosrokartono, Kakak Kartini Nan Jenius yang Menguasai 26 Bahasa Sampai Jadi Wartawan Pribumi Pertama

Kamis, 25 Juli 2019 | 17:23
Kolase Kompas.com

Sosrokartono, Kakak Kartini Nan Jenius yang Menguasai 26 Bahasa Sampai Jadi Wartawan Pribumi Pertama

Sosok.ID- Siapa yang tak kenal R.A. Kartini, disebut sebagai tokoh emansipasi wanita pertama Indonesia.

Ternyata Kartini memiliki kakak laki-laki yang sangat jenius.

Dialah Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung R.A. Kartini.

Sosrokartono adalah anak keempat dari Bupati Jepara Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat dengan isteri keduannya, Ngasirah.

Baca Juga: Tak Rela Ditinggal Putrinya Menikah, Seorang Ayah Nangis Histeris Sampai Nyaris Pingsan: Jangan Tinggalkan Aku!

Kartono, sapaannya, lahir di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877, atau dua tahun lebih tua dari sang tokoh emansipasi, Kartini.

Kartono mengenyam pendidikan yang memadai, sebagai anak bangsawan pada masa itu.

Ia memulai studi di Europeesche Lagere School di Jepara, kemudian lanjut di Hogere Burger School di Semarang, selepas dari HBS, ia lanjutkan studi ke Sekolah Teknik Tinggi di Delft.

Di jurusan teknik, ia merasa tak cocok sehingga pindah ke jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.

Baca Juga: Sempat Tak Lolos Masuk ITB, Anak Tukang Becak Ini Lulus dengan Predikat Terbaik dan Sukses Jadi Dosen Termuda di Untirta

Menurut Harry A. Poeze dalam buku "Di Negeri Penjajah", Sosrokartono adalah generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di negeri Belanda.

Di jurusan barunya ini ia langsung dibimbing oleh guru besar bernama JHC Kern.

Atas usaha Kern inilah nama Sosrokartono mulai dikenal kalangan terpelajar di Eropa.

Sosrokartono pernah diundang menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia pada Agustus 1899.

Baca Juga: Ditinggal Suami Berburu Kodok, Istri Diperkosa Tetangganya Sendiri Karena Melihat Korban Menyusui Bayinya

Dia berpidato dengan judul "Het Nederlandsch in Indie", dalam bahasa indonesia artinya Bahasa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia).

Dengan moral ketimuran ia menyampaikan pidato tersebut, bahkan seisi ruangan kongres memberikan aplause diakhir pidato Sosrokartono.

Harry A. Poeze menulis pidato Sosrokartono tersebut sebagai "penampilan terbuka pertama orang Hindia Belanda (Indonesia) di Eropa".

Maret 1908, Kartono lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, namun rencana untuk melanjutkan studinya terganjal, banyak yang menyebut kegagalannya meraih gelar profesor karena ulah Snouck Hurgronje.

Baca Juga: Viral Video Seorang Pria Berseragam Polisi Gelantungan di Kap Mobil Diduga Demi Hentikan Pengendara

Dalam tahun-tahun di Eropa, ia juga berperan dalam pembentukan Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia kemudian) pada 1908.

Selama di Leiden Kartono belajar banyak bahasa,dalam buku Leiden Oriental Connection 1850-1940 oleh W. Otterspeer menyebut kartono setidaknya menguasai 9 bahasa timur dan 17 bahasa barat.

Bung Hatta juga pernah mengungkapkan bahwa Sosrokartono juga menguasai bahasa Grik (Yunani) dan Latin.

Pada saat perang dunia I meletus di Eropa, Sosrokartono menjadi wartawan di The New York Herald Tribune, dia menulis berita dalam empat bahasa, Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis.

Baca Juga: Tak Bisa Lunasi Utang dengan Bunga Capai Rp 30 Juta, Seorang Wanita Asal Solo Diancam Akan Dijual Paksa Pihak Peminjaman Online

Bisa dikatakan bahwa Sosrokartono adalah orang Indonesia pertama yang menjadi wartawan.

Solichin Salam dalam buku "R.M.P Sosrokartono: Sebuah Biografi, menulis bahwa Sosrokartono juga diberikan pangkat mayor oleh panglima perang Amerika Serikat untuk memperlancar pekerjaannya sebagai wartawan perang.

Gaji wartawan perang pada kala itu mencapai 1.250 dollar, dengan gaji sebesar itu ia bisa jadi seorang miliuner di Eropa kala itu.

Baca Juga: Miris! Demi Biaya Masuk SMP, Seorang Bocah SD Rela Dijual Tantenya Seharga Rp 10 Juta ke Pria Hidung Belang

Salah satu hasil liputan terbaik yang pernah ia lakukan adalah ketika Sosrokartono meliput perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman.

Karena sangat rahasianya perundingan tersebut membuat tidak semua orang bisa meliput peristiwa penting itu, namun Sosrokartono adalah salah satu orang yang beruntung bisa meliput peristiwa penting di Eropa kala itu.

Namun sayang sekali, hasil liputan yang dilakukan oleh Sosrokartono mengenai perundingan tersebut sampai sekarang sangat susah ditemukan.

Selepas menjadi Jurnalis, Kartono pernah menjabat sebagai penerjemah Liga Bangsa-bangsa (Sebelum PBB).

Baca Juga: Kisah Menegangkan Dua Personel TNI Masuki Sarang Pemberontak Papua Tanpa Dibekali Senjata, Namun Misi Malah Berhasil Dituntaskan

Jabatan tersebut diemban selama 1919-1921, namun ia tak kerasan karena LBB yang tak netral akhirnya keluar dari pekerjaan bergengsi tersebut dan memutuskan kembali ke tanah air.

Sekembalinya di Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, ia kesulitan mendapatkan perkerjaan.

Sekali waktu ia pernah mendapat tawaran untuk bekerja di museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen tapi ditolak dengan alasan ingin rehat sejenak dari rutinitas.

Akhirnya ia bergabung dengan Ki Hajar Dewantoro untuk menjadi pengajar di taman siswa Darusalam Bandung.

Baca Juga: Diduga Oknum Dosen UIN Raden Intan Mesum, Pinggang Mahasiswinya Ia Rangkul dan Ditepuk Pantatnya

Sekeluar dari situ Sosrokartono memilih menjadi mantri kesehatan, perlu diketahui Sosrokartono sejak usia 3 tahun memiliki kemampuan supernatural bahkan pernah menyembuhkan keluarga temannya saat di Eropa hanya dengan menempelkan tangannya ke dahi orang tersebut.

Diakhir hidupnya Sosrokartono memilih sendiri dan tak memiliki isteri maupun anak.

Ia mangkat pada 8 februari 1952 disemayamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus.

"Sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tan ngasorake", adalah kalimat terakhir yang tersemat di nisannya.

(*)

Tag

Editor : Tata Lugas Nastiti

Sumber Kompas.com