Sosok.ID -Selain umumkan tiga rekomendasi mereka, Komnas HAM umumkan hasil temuan baru terkait kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, dalam channel YouTube Humas Komnas HAM RI yang diunggah Jumat (2/9/2022) menampilkan sejumlah foto di lokasi kejadian termasuk kondisi jenazah Brigadir J setelah tewas ditembak.
Foto yang paling disorot adalah foto posisi jenazah Brigadir J sesaat setelah peristiwa penembakan di Rumah Dinas Kompleks Polri Nomor 46, Duren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022 lalu.
Foto itu diklaim Choirul Anam diambil kurang dari satu jam setelah kejadian.
Namun, dari mana foto tersebut diperoleh?
Dilansir dari tribunnews.com, Choirul Anam jelaskan dalam kaitan penyidikan obstruction of justice pihaknya membagi dua klaster.
Klaster pertama adalah para tersangka obstruction of justice yang membuat skenario, sedangkan klaster kedua menghilangkan atau merusak barang bukti.
Kemudian Komnas HAM mengklaim terkait klaster penghilangan atau perusakan barang bukti bahwa ada enam hal yang mereka temukan.
Yaitu adanya upaya menghilangkan atau mengganti barang bukti handphone oleh pemiliknya sebelum diserahkan kepada penyidik.
"HP (handphone) dihilangkan," kata M Choirul Anam.
Selanjutnya adanyaa tindakan penghapusan jejak komunikasi berupa pesan, panggilan, telepon, dan data kontak.
"Jadi kalau diawal ada pertanyaan kepada Komnas HAM seperti bagaimana Whatsapp grup? komunikasi Whatsapp grup terputus. Baru muncul kembali salah satunya pukul 22.00 WIB atau 23.00 WIB. Pukul 22.00 WIB ke bawah tidak terekam (komunikasi), karena memang terhapus," kata Anam dikutip dari tribunnews.com.
Kemudian yang ketiga adalah penghapusan foto TKP, yang kemudian ditelusuri oleh Komnas HAM sampai akhirnya ditemukan foto-foto di lokasi kejadian sesaat setelah Brigadir J tewas ditembak, termasuk foto posisi jenazah Brigadir Yosua tergeletak di lantai.
"Jadi beberapa foto yang kami temukan khusunya yang tanggal 8 itu, itu ditemukan di recycle bin di tempat sampah, di mekanisme tersebut jadi bukan diambil dari barang yang nggak dihapus, tapi itu kita ambil dari barang yang dihapus," ujar Anam.
"Sehingga kita tahu bagaimana posisi dan bagaimana itu terjadi disaat setelah peristiwa pada tanggal yang sama kurang dari 1 jam," lanjutnya.
Keempat adalah perusakan atau penghilangan CCTV atau decoder di TKP dan sekitarnya.
"Jadi decoder dan CCTV itu juga dihilangkan," ucapnya.
Lima, adanya pemotongan atau penghilangan video CCTV yang menggambarkan peristiwa secara utuh sebelum, saat dan sesudah kejadian.
Kemudian keenam adanya perintah bersihkan TKP.
"Ini juga ada, misalnya darah dibersihkan, ini dibersihkan, dan dikonsolidasikan semua yang ada di dalam situ," katanya.
Anam juga lantas tunjukkan sejumlah foto penting yang ditemukan di lokasi selain foto kondisi jenazah Brigadir Yosua.
Komnas HAM temukan foto bekas tembakan di lantai dan menurut mereka foto tersebut menunjukkan jika ada peluru recoset.
"Ini salah satu titik di mana tembakan recoset itu ada, ini di lantai, ini tembakan yang nantinya akan menjadikan titik recoset. Ini memantul ke satu bidang yang lain," kata Anam.
Kesimpulan Komnas HAM
Kesimpulan Komnas HAM pun disinggung oleh Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun.
Sebelumnya, Komnas HAM mengambil kesimpulan bahwa tidak ada penganiayaan dalam kasus Brigadir Yosua, kontras dengan foto dan video yang mereka beberkan ke publik.
"Menurut. saya seharusnya Komnas HAM tidak perlu membuat kesimpulan seperti itu karena kesimpulan seperti itu akan digunakan oleh pihak-pihak untuk mengatakan itu hasil dari Komnas HAM," kata Refly Harun.
"Padahal apa yang dilakukan Komnas HAM kan belum tentu juga benar ya karena Komnas HAM kan rely on. Proses penyelidikannya yang harus dibuktikan di pengadilan juga," sambungnya dilansir dari YouTube Refly Harun.
Eks Staf Ahli Mahkamah Konstitusi itu menilai, kesimpulan Komnas HAM terkesan tergesa-gesa.
Dikhawatirkan kesimpulan itu hanya akan dijadikan alat oleh segelitnir kelompok.
Refly Harun juga mengklaim lebih baik Komnas HAM berikan kesimpulan-kesimpulan yang sudah pasti terkait kasus Brigadir J, yaitu extrajudicial killing dan obstruction of justice.
"Tapi kalau menunjuknya siapa saja yang terlibat, nah itu barangkali yang perlu diklarifikasi lebih lanjut," tuturnya.
"Tapi kalau mengatakan tidak ada penyiksaan, nah itu justru akan digunakan oleh pihak-pihak lain untuk memberikan legitimasi. Itu yang menjadi persoalan," tambah Refly Harun.
Dia mengingatkan pernyataan Komnas HAM dalam kasus penembakan 6 laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek tahun 2020 silam.
"Jangan lupa dalam kasus KM 50 apa yang disampaikan oleh Komnas HAM menjadi legitimasi seolah-olah tidak ada pelanggaran HAM berat dan lain sebagainya," ucapnya.
"Yang disidik lebih lanjut adalah kepemilikan senjata api, lalu juga penyerangan kepada petugas, dan sempat-sempatnya 6 laskar FPI itu dijadikan tersangka, dan kemudian kasusnya di-SP3 karena korbannya sudah meninggal," sambungnya.
Kasus itu menurutnya yang dilihat justru hanya pinggirannya.
"Sama seperti kasus ini yang sebelumnya, awal-awal yang dilihat adalah kasus pelecehannya dan tembak menembaknya dan bela dirinya, tapi bukan kasus matinya orang," ujarnya.
"Nah ini Komnas HAM jangan mengulangi kesalahan yang sama," tegas Refly Harun.