Sosok.ID -Dalam sebuah referendum yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 Agustus 1999, mayoritas rakyat Timor Timur memilih hengkang dari Indonesia.
Segera setelah referendum, kekacauan melanda negara tersebut.
Milisi anti-kemerdekaan Timor Leste memulai kampanye militer bumi hangus, membunuh setidaknya1.400 nyawa rakyat Timor Timur.
Secara internasional, Timor Leste baru diakui sebagai negara dan resmi merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002.
Namun tak berselang lama, krisis hebat melanda Bumi Lorosae di mana rakyat murka pada pemerintah.
MenyadurReliefweb,sekira tahun 2006-2007, penduduk Timor Leste terlibat bentrok dengan polisi dan pasukan militer bersenjata.
Situasi politik di Dili saat itu sangat mencekam, Februari 2007, gelombang kemarahan publik terjadi secara besar-besaran.
Penduduk sipil marah besar kepada pemerintah Timor Leste hingga melakukan aksi perlawanan.
Semuanya semakin buruk, ketika Perdana Menteri Xanana Gusmao memerintahkan untuk menangkap Alfredo Reinadopemimpin pemberontak pada krisis Timor Leste di masa itu.
Krisis tersebut terjadi pada pertengahan 2006 hingga 2007, berawal dari masalah pangan.
Pemerintah Timor Leste, dipandang gagal menyediakan beras bagi rakyatnya, sehingga memicu gelombang kekerasan.
Penduduk Dili yang marah berusaha menjarah 700 ton beras di gudang di ibu kota Dili.
Penangkapan Alfredo Reinado ditambah kekurangan beras, memicu babak baru kekerasan diwilayah tersebut.
Penduduk Dili dan anggota partai oposisi menuduh pemerintah menahan beras dari pasar.
Dengan rencana menggunakan distribusi beras sebagai alat untuk mengamankan kemenangan Fretilin dalam pemilihan mendatang.
Mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri, yang diturunkan jabatannya pada Juni 2006, menyatakan bahwa krisis beras adalah konspirasi yang dimaksudkan untuk melumpuhkan pemerintah yang didominasi Fretilin.
Anggota komunitas bisnis menyalahkan krisis pada kekurangan di pasar internasional.
Mereka menjelaskan bahwa Timor Leste adalah prioritas rendah bagi pemasok beras regional yang Memilih untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar baik dari Indonesia dan Filipina, di mana harga telah melonjak selama 2 tahun terakhir.
Timor Leste tidak asing dengan kerawanan pangan. Periode menjelang dimulainya musim hujan dikenal sebagai "musim lapar".
Dalam menghadapi hal ini, orang Timor mengandalkan kombinasi beras, jagung, dan umbi-umbian.
Pada saat itu, pemerintah memperkirakan Timor Lorosa'e membutuhkan 83.000 metrik ton beras per tahun.
Berdasarkan perhitungan hanya 90 kg per kapita, dibandingkan dengan angka antara 133 hingga 149 kg per kapita yang digunakan di Indonesia.
Dari 83.000 metrik ton yang dibutuhkan, Kementerian Pertanian menghitung produksi dalam negeri hanya 40.000 metrik ton.
Angka ini sebenarnya mungkin dilebih-lebihkan. Pada awal 1990-an produksi beras di Timor Leste melampaui 55.000 metrik ton selama4 tahun berturut-turut, tetapi kemudian turun menjadi rata-rata 41.000 metrik ton per tahun.
Namun, sejak 1999, kombinasi faktor-faktor kegagalan memelihara sistem irigasi, migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan.
Biaya yang tinggi untuk input, dan upah yang lebih tinggi menunjukkan bahwa perkiraan saat ini sebesar 40.000 metrik ton per tahun tidak realistis.
Sementara itu, yang mengejutkan pengakuan rakyat Timor Leste adalah, stok beras di negaranya sudah kosong selama dua minggu, hingga memicu kekerasan di Dili.
Tanpa keterbukaan yang lebih besar dari para pejabat, tidak mungkin untuk memastikan mengapa Timor Leste mengalami krisis yang parah.
Yang jelas, kekurangan beras bukanlah konspirasi yang dimaksudkan untuk mendiskreditkan pemerintah atau rencana pemerintah untuk memenangkan pemilu 2007.
Sebaliknya, semua indikasi adalah bahwa program ketahanan pangan Kementerian Pembangunan telah melibatkan kurangnya transparansi (jika bukan korupsi langsung).
Bahwa negara tidak memiliki kapasitas untuk menyalurkan beras kepada penduduk secara adil dan efisien, dan bahwa dengan mengambil beras.
Di Dili tangisan anak-anak yang kelaparan menyulut amarah, bahkan keputusasaan.
Saat kerumunan pria berkumpul di dekat National Logistics Centre, tentara Australia yang membawa senjata otomatis mendekati seorang pemuda yang tinggal di dekat situ untuk mencari informasi.
Ketika ditanya tentang situasinya, ayah muda3 anak ini menjelaskan, "Seseorang mungkin pernah menjadi pahlawan selama perjuangan kemerdekaan, tetapi hari ini dia bisa menjadi pengkhianat."
Sambil menangis, ia berkata bahwa jika dia bisa meninggalkan Timor Leste akan lebih baik mati di tempat lain daripada hidup seperti ini di negaranya sendiri.
(Afif Khoirul M)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul:Baru Kemarin Sore Merdeka dari Indonesia, Timor Leste Pernah Nyaris Bubar Gegara Rakyatnya Ngamuk Pada Pemerintah yang Dianggap Tak Becus Urus Kebutuhan Pangan Rakyat Sendiri