Terpisah, dikutip dariWarta Kota,Anita dalam tayangan Indonesia Lawyer Club di TV One pada Jumat, (31/7/2020) mengatakan, Djoko Tjandra telah dizalimi penguasa.
Pada kasus pengalihan hak tagih Bank Bali tersebut, muncul dugaan politisasi dalam Peninjauan Kembali (PK) Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Mahkamah Agung (MA).
PK JPU kepada MA pada tanggal 3 September 2008 silam dinilai inkonstitusional karena adanya penzaliman by order (kekuasaan).
"Saya cukup prihatin Pak Djoko Tjandra mengalami proses ini 21 tahun dari 1999. Pak Djoko Tjandra sudah mengalami penahanan rutan maupun tahanan kota. Dia pun bilang ke saya, Anita tolong luruskan biar masyarakat jelas," kata Anita.
Anita menduga ada campur tangan kekuasaan pada masa pemerintahan SBY, sebab jaksa seharusnya tidak bisa melakukan PK.
"Delapan tahun setelah eksekusi Jaksa pada tahun 2001 yang sudah dijalankan oleh Pak Djoko Tjandra. Jaksa melakukan PK, berarti kedzoliman itu by order," ungkap Anita.
Hal ini tertuang dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, disebutkan bahwa hanya terpidana dan ahli waris saja yang dapat mengajukan PK.
Praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad angkat bicara terkait polemik PK yang dilakukan JPU kepada MA dalam kasus Djoko Tjandra.
Menurutnya, ada kejanggalan dan kesemrawutan dalam hukum Indonesia.
"Karena yang punya hak PK berdasarkan pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya, tidak ada dasar hukum bahwa jaksa (ajukan) PK, yang ada hanya yurisprudensi," kata Suparji pada Kamis (30/7/2020).