Melawan feodalisme
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.
Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya.
Baca Juga: Bukan Dikubur, Ritual Orang Anga Papua yang Memajang Mayat Sampai Tercium Aroma Khas Jenazah
Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Umar Kayam kan nulis Para Priyayi, Romo Mangun nulis Burung-burung Manyar, tapi yang daya jangkaunya terhadap fakta sejarah kayaknya cuma Pram," lanjut dia.
Novelnya yang paling terkenal di antaranya Tetralogi Buru, Arok Dedes, dan Arus Balik.
Novel-novel itu, dan hampir sebagian besar karya Pram, punya benang merah yang sama, yakni budaya feodalisme.
Tetralogi Buru terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Baca Juga: Dalianto, Bunuh Kakak Ipar Lantaran Korban Sering Caci Maki Istri dan Mertua