Sosok.ID -Sederet masalah membayangi proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang dikerjakan oleh perusahaan Indonesia-China.
Proyek ini disebut selesai tahun 2019 tapi diperkirakan baru bisa selesai pertengahan 2023.
Biaya pembangunan proyek ini membengkak sampai perlu disuntik APBN.
Saat ini biaya pembangunan infrastruktur ini membengkak menjadi 8 miliar USD atau setara Rp 114,2 triliun.
Angka ini membengkak sebesar 1,9 miliar USD dari awalnya 6 miliar USD.
Ada sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya, antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, sampai hambatan geologi pembangunan terowongan.
Pembengkakan biaya investasi KCIC ini juga sudah melampaui dana pembangunan proyek yang sama yang awalnya ditawarkan oleh Jepang lewat Japan International Cooperation Agency (JICA) yang mana menjembatani Tokyo tawarkan proyek dengan bunga utang lebih rendah.
Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah Indonesia menambal sebagian kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.
Kalangan yang kontra terhadap proyek tersebut menyebut bahwa perkembangan realisasi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung tak sesuai dengan janji pemerintah dulu.
Sebagai upaya menyelamatkan proyek kerja sama Indonesia-China itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Padahal sebelumnya, Jokowi beberapa kali tegas berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat sepeser pun untuk mega proyek tersebut.
Tawaran China yang lebih murah
Indonesia memilih China sebagai pelaksana proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung padahal awalnya proyek ini pertama kali diajukan Jepang, sampai lewat JICA Jepang sejak tahun 2014 telah gelontorkan modal sebesar USD 3,5 juta untuk danai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama.
Hal itu rupanya mendapat sambutan baik dari Menteri BUMN 2014-2019, Rini Soemarno.
Rini tiba-tiba tandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China, Xu Shaoshi, Maret 2016.
China lalu tawarkan nilai investasi yang lebih murah, sebesar USD 5,5 miliar dengan skema investasi 40% kepemilikan China dan 60% kepemilikan lokal berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana APBN Indonesia.
Meski pada akhirnya, pihak China justru kini meminta pemerintah Indonesia ikut menanggung pembengkakan biaya yang muncul.
Penegasan semua biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung tanpa uang APBN kemudian disahkan pemerintah Jokowi lewat penerbitan Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Meski demikian, Jokowi kemudian meralatnya agar APBN bisa ikut mendanai kereta cepat dengan menandatangani Perpres Nomor 93 Tahun 2021.