Sosok.ID -Penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas kasus pembunuhan Brigadir Yosua menghasilkan dugaan bahwa mendiang Brigadir Yosua melecehkan Putri Candrawathi.
Klaim pelecehan pertama kali datang dari Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo.
Mereka bersikeras bahwa mendiang Brigadir J adalah pelaku pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Namun, tafsir dari psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, berbeda.
Reza bandingkan beberapa momen yang membuatnya yakin bahwa istri Ferdy Sambo itu seolah tidak punya mindset sebagai korban.
Reza juga beranggapan Brigadir J tidak memenuhi profil sebagai pelaku menilik relasi kuasa antar pihak.
"Persoalannya adalah, dengan segala hormat, tindak-tanduk PC acapkali terkesan menganulir klaim yang bersangkutan sebagai korban," kata Reza dalam dialog Sapa Indonesia Pagi di KOMPAS TV, Kamis (1/9/2022).
Ia lantas membandingkan dua momen untuk memperkuat pendapat itu.
"Misal, mari kita bandingkan tindak-tanduk kemunculan beliau ketika berada di depan Mako Brimob. UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual ) sudah mengatur bahwa identitas korban wajib dirahasiakan. Apa yang bisa kita pahami?"
Bagi Reza, janggal jika seseorang mengeklaim mengalami pelecehan seksual, dianggap sebagai korban, tapi pada saat yang sama justru dimunculkan di hadapan media, dipersilakan berbicara, "bahkan dia sebut namanya."
"Tindak tanduk yang jauh dari profil korban macam itu, memunculkan pertanyaan, kenapa ada kesenjangan sedemikian rupa? Barangkali jawabannya yang bersangkutan tidak punya mindset sebagai korban. Kenapa? Barangkali yang bersangkutan memang bukan korban," kata Reza.
Reza juga bandingkan perilaku PC sebagai korban dengan hasil riset temuan ilmuwan.
"Kekerasan Seksual dianggap sebagai kejahatan yang serius, salah satu indikatornya 80 persen akan mengalami guncangan hebat, bandingkan korban kecelakaan lalu lintas yang hanya 15 persen saja," kata Reza.
Dasar penelitian itu digunakan Reza untuk memahami korban memilih untuk mengisolasi diri.
"Tapi lagi-lagi, ada kekontrasan antara tindak tanduk PC yang kita anggap sebagai korban, yang sewajarnya memilih mengisolasi diri, justru dipersilakan tampil di hadapan media," ucapnya.
"Tindak tanduk seperiti itu, memunculkan kesan tidak ada mindset sebagai korban, karena barangkali yang bersangkutan memang bukan korban," kata Reza, menegaskan kembali pernyataannya.
Teori relasi kuasa menurut Reza masih lebih mendasari jika kasus pelecehan seksual benar ada.
"Pelakunya siapa, korbannya siapa? Tidak patut bagi kita untuk apriori, misalnya dengan membabi buta menggunakan teori relasi kuasa untuk mengatakan peristiwa pelecehan seksual, pasti laki-laki sebagai pelakunya dan perempuan pasti korbannya," ujarnya.
Reza menyebut, masih menggunakan teori relasi kuasa, bisa ditakar.
"Baik itu di Duren Tiga maupun di Magelang, yang notabene merupakan rumah komandan, "kira-kira siapa yang dominan, siapa yang submisiv, siapa yang berkuasa siapa yang dikuasai, siapa yang siperior dan siapa yang inferior?"
"Hitung-hitungan di atas kertas, menurut saya, sekali lagi, andai diterapkan teori relasi kuasa, Brigadir J bukanlah pihak yang dominan, berkuasa, superior, bukan pihak yang memenuhi profil sebagai pelaku KS. Tentu tetap harus diuji oleh pihak kepolisian," ujarnya.