Sosok.ID -Sudah tercatat dalam buku sejarah perjalanan Indonesia, Presiden Soeharto pada tahun 1966 dilantik menjadi pemimpin negara.
Seperti yang pernah diberitakan olehKompas.com,Soeharto tepatnya dilantik pada 11 Maret 1966.
Momen pelantikan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia kala ituterjadi akibat pecahnya Peristiwa G30S/PKI.
Tak hanya itu saja, karena peristiwa berdarah tersebut Soekarno pun harus segera meninggalkan kursi kekuasaannya kala itu.
Bahkan kala itu Soekarno sampai harus hengkang dari Istana Negara usai diusir oleh Soeharto.
Peristiwa itu pun juga menandakan berakhirnya Kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia.
Melansirdari Tribun Jateng, masa-masa pertengahan dekade 60-an memang seolah menjadi senjakala kekuasaan bagi Soekarno.
Pada masa itu, era kekuasaan Soeharto pun perlahan mencuat ke permukaan.
Namun ternyata terselihp sebuah kisah menarik saat kekuasaan Soekarno berakhir dan diganti oleh Soeharto.
Hal itu bermula saatSoekarno dipaksa oleh Soeharto untuk meninggalkan Istana Negara menjelang pergantian kepala negara.
Itu seperti yang dituliskan oleh Adji Nugroho dalam bukunya yang berjudul "Selangkah Lebih Dekat dengan Soekarno", yang diterbitkan tahun 2017.
Saat meninggalkan Istana Kepresidenan, Soekarno meninggalkan sejumlah barang berharga yang lekat dengan sang Proklamator saat masih menjabat sebagai Presiden.
Di antaranya berbagai kemeja favorit, hingga arloji Rolex, dan berbagai barang berharga lainnya.
Meski demikian, ada satu barang berharga yang justru dibawa oleh Soekarno.
"Ketika meninggalkan Istana Kepresidenan, Bung Karno hanya membawa benda yang merupakan salah satu simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia," tulis Ajdi Nugroho.
Benda yang dibawa, dan digenggam erat oleh Soekarno itu adalah bendera pusaka, Sang Saka Merah Putih.
"Bendera itu hanya dibungkus dengan kertas koran," tandas Adji Nugroho.
Sementara itu dalam kisah lainnya, Soekarno pernah diajak melarian diri oleh para loyalisnya.
Itu seperti yang ditulis dalam buku "80 Tahun Sidarto Danusubroto Jalan Terjal Perubahan Dari Ajudan Soekarno Sampai Wantimpres Joko Widodo," terbitan Kompas tahun 2016 lalu.
Dalam buku itu disebutkan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang mengawal Soekarno digantikan oleh Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat (Satgas Pomad), pada 16 Agustus 1967.
Pergantian itu membuat Soekarno sempat down.
Soekarno merasa kehilangan segalanya.
Sebab, DKP merupakan ring satu yang selalu menjaganya sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Karena Komandan DKP Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo sudah ditahan. Sudiyo dan beberapa perwira DKP bersama beberapa perwira Korps Komando Angkatan Laut/ sekarangn Marinir (KKO), sekitar 15 orang mengadakan rapat-rapat untuk merancang rencana melarikan Bung Karno dari tahanan," tulis Sidarto.
Rapat itu mereka adakan di rumah seorang loyalis Soekarno, AKBP Oetoro, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Mereka meminta saya hadir dalam pertemuan tersebut," ungkap Sidarto.
Menurut Sidarto, mereka mengundang dirinya karena menganggap dia adalah ajudan yang dekat dengan Soekarno.
Mereka pun menyampaikan pesan untuk Soekarno.
"Bilang pada Bapak, daripada Bapak meninggal dalam keadaan tersiksa seperti ini, lebih baik sama-sama kita," lanjut Sidarto.
Sidarto pun menyampaikan hal itu kepada Soekarno bahkan membuat dirinya cukup terkejut.
Hal itu lantaran, dia sama sekali tidak menyangka Soekarno bersedia dilarikan diri dari tahanan.
Tak sampai di situ saja, Soekarno juga sempat menyampaikan sebuah pesan pada dirinya.
"To, kalau terjadi apa-apa dengan saya, beritahu Mega," kenang Sidarto menirukan ucapan Soekarno.
Menurut Sidarto, Megawati Soekarnoputri pun pada akhirnya mengetahui rencana ini, namun akhirnya terbongkar.
Penyebabnya satu hal.
"Rencana melarikan Bung Karno terbongkar karena saya rasa yang mendengar konspirasi ini cukup banyak sehingga mudah tercium aparat intelijen," kata Sidarto.
Akibatnya, Sidarto pun diinterogasi selama empat tahun oleh Tim Screening Kepolisian Pusat (Tenning Polsat), dan Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu).
Sidarto dianggap sebagai penghubung Soekarno.
"Setiap ditanya tentang rencana ini, saya selalu membantah pernah lapor kepada Bung Karno. Saya ikut rapat dua kali dengan mereka karena solidaritas saja," tandas Sidarto.
(*)