Sosok.ID - Sebuah foto pernikahan baru-baru ini menjadi perbincangan di media sosial.
Pasalnya, dalam foto yang beredar di Facebook itu, sang pengantin perempuan tampak memamerkan bergepok-gepok uang.
Dilansir Sosok.ID dari Kompas TV, foto yang diunggah oleh akun bernama Widia Meilani pada Sabtu (17/10/2020) itu pun langsung menjadi viral.
Dalam keterangan yang ditulis pemilik akun, tumpukan uang itu merupakan mahar atau uang panai yang diberikan kepada mempelai wanita.
Tak main-main, konon jumlahnya mencapai Rp 300 juta.
Bukan hanya uang tunai ratusan juta, pemilik akun juga menyebut barang-barang lain yang juga diberikan sebagai mahar.
"Rp 300 juta, emas 1 stel, beras 1 ton, kuda 2 ekor, tanah, unit mobil, rumah. Mantap sekali dengan fuji," tulis Widia di Facebook.
Tidak jelas pernikahan viral itu terjadi di mana, namun diduga berasal dari Sulawesi Selatan.
Sebab, uang panai sendiri merupakan adat dari budaya Bugis-Makassar.
Dilansir Sosok.ID dari Kompas.com, sejak dulu uang panai sendiri berlaku sebagai mahar yang jika seorang pria ingin melamar wanita idamannya.
Namun, dalam praktiknya, sering kali uang panai membebani pihak pria karena nilainya yang tak sedikit.
Pasalnya, uang panai itu digunakan sebagai syarat adat untuk membiayai pesta perkawinan yang tentunya tidak sedikit.
Bahkan, uang panai bisa mencapai miliaran rupiah.
Sementara itu, untuk jumlahnya sendiri,uang panai ditentukan berdasarkan strata sang wanita, mulai dari kecantikan, keturunan bangsawan, pendidikan, hingga pekerjaannya.
Semakin tinggi nilai-nilai itu, maka akan semakin besar pula uang panai yang dibebankan kepada mempelai pria.
Sebagai contoh, jika gadis yang dilamar adalah lulusan SMA, maka uang panai yang diberikan akan lebih sedikit dari gadis yang memiliki gelar sarjana strata satu.
Apabila untuk melamar gadis lulusan SMA dibebani mahar Rp 50 juta, maka uang panai untuk gadis lulusan S1 bisa mencapai Rp 75 juta atau bahkan Rp 100 juta.
Kendati demikian, uang panai masih bisa didiskusikan oleh masing-masing keluarga calon pengantin.
Menurut Budayawan Sulawesi Selatan sekaligus Dosen Universitas Hassanudin, Nurhayati Rahman, ada pula yang memutuskan untuk kawin lari karena tak sanggup membayar uang panai.
Mereka yang menentang tradisi ini disebut dengan "silariang".
"Bagi orang Bugis Makassar, silariang itu peristiwa yang sangat memalukan karena bersangkut paut dengan malu atau 'siri' atau aib yang menjadi beban keluarga sepanjang hidupnya," tuturnya, seperti dikutip Sosok.ID dari Kompas.com.
Mereka yang melakukan silariang, katanya, biasanya akan dianggap sudah mati oleh keluarganya.
"Jadi pelaku dianggap telah mati, tidak ada negosiasi, tidak ada rekonsiliasi, seumur hidup.
"Bahkan beberapa generasi tidak akan diterima lagi untuk kembali ke keluarganya selamanya dan seterusnya.
"Biasanya pelaku pergi merantau dan membuang diri dan tidak akan kembali lagi seumur hidup sampai beranak cucu," terangnya.
(*)