Sosok.ID - Pemerintah China memang tak tahu akal.
Bagaimana tidak, mereka mengklaim 80 persen lautan Pasifik Selatan hanya berdasarkan peta Histori kejayaan masa lalu Dinasti Qing.
Sontak negara-negara yang kena klaim peta jebot Dinasti Qing terutama Asia Tenggara meradang.
Tak ayal kali ini China harus berhadapan dengan banyak negara akibat ulahnya itu.
Pembahasan negosiasi terkait kode etik Laut China Selatan terhenti selama pandemi virus corona.
Hal ini meningkatkan kekhawatiran di antara beberapa negara Asia Tenggara bahwa China akan mengeksploitasi penundaan untuk mengkonsolidasikan kehadirannya di perairan yang disengketakan.
MelansirNikkei Asian Review,Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc mengakui, penundaan pembahasan itu setelah menggelar pertemuan puncak virtual pada Jumat lalu dengan para pemimpin Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).
Beberapa pengamat sekarang mempertanyakan apakah kode etik tersebut dapat disetujui sesuai target, yakni pada 2021, sepeti yang diusulkan oleh Perdana Menteri China Li Keqiang.
Vietnam, salah satu pendukung kode etik utama, termasuk di antara negara-negara pertama di kawasan itu yang memiliki wabah virus corona.
Mereka mengusulkan mengadakan pertemuan puncak secara langsung untuk mengirim pesan kuat tentang kode etik.
Ini menjadi isu pembaruan yang sudah lama didorong untuk dibahas. Pasalnya, menurut para kritikus, saat ini Laut China Selatan tidak memiliki aturan yang jelas untuk wilayah perairan yang kaya akan sumber daya dan dilalui oleh perjalanan internasional yang sangat banyak.
Namun tidak seperti pertemuan yang diusulkan Vietnam, KTT itu akhirnya diadakan secara virtual sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.
Beberapa anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Filipina, masih berjuang untuk mengekang virus corona. Di sisi lain, China telah meningkatkan kehadirannya di perairan karena seluruh dunia tengah fokus dalam merespons pandemi.
Mengingatkan saja, ASEAN dan China telah menunda pertemuan mengenai kode etik yang dijadwalkan tahun ini, dimulai dengan pertemuan Februari di Brunei.
KTT ASEAN pada bulan April juga diadakan secara online.
"Kami tidak bisa menegosiasikan hal semacam ini secara virtual, jadi kami hanya bisa menunggu sampai situasinya membaik," kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia kepadaNikkei Asian Review.
ASEAN meyakini, kode etik ini akan membantu mengurangi risiko bentrokan bersenjata di Laut China Selatan.
MelansirKompas.com, pada KTT ASEAN ke-36 pada Jumat (26/6/2020) lalu, para pemimpin mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinan atas situasi rumit di Laut China Selatan.
Para pemimpin ASEAN menekankan 'pentingnya menjaga dan mempromosikan perdamaian, keamanan, stabilitas, keselamatan dan kebebasan navigasi serta penerbangan di atas Laut China Selatan, serta menegakkan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 di Laut China Selatan.'
Sebelumnya, melansir Sputnik, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, Amerika mendukung pernyataan ASEAN mengenai Laut China Selatan.
Menurutnya, China tidak boleh mengklaim Laut China Selatan di wilayah ASEAN sebagai wilayah maritimnya.
Sengketa Laut China Selatan harus diselesaikan sejalan dengan undang-undang (UU) internasional.
"AS menyambut baik desakan para pemimpin ASEAN bahwa sengketa Laut China Selatan (SCS) dapat diselesaikan melalui UU Internasional, termasuk UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Hukum Kelautan). China tidak boleh memperlakukan SCS sebagai kekaisaran maritimnya. Kami akan segera membahas topik ini," ujar Pompeo dalam kicauannya di Twitter beberapa waktu lalu.(*)
Artikel ini pernah tayang di Kontan dengan judul "Kode etik Laut China Selatan macet, Asia Tenggara cemas Tiongkok akan rebut kekuasaan"