Sosok.ID - Kamis, 5 September 2019, Zaenal Abidin (29) mengendarai motor Vario warna putih, melawan arus, dan tidak mengenakan helm.
Kala itu waktu menunjukkan pukul 20.20 WITA.
Zaenal datang ke Kantor Satlantas Polres Lombok Timur, bermaksud menanyakan motornya yang ditilang hari itu.
Saat itu, ada dua Satlantas yang berjaga, yakni Aipda I Wayan Merta Subagia dan Bripka Nuzul Husaen.
Zaenal datang dengan cara tak bersahabat, setidaknya begitulah menurut penuturan Kapolda NTB Irjen Nana Sudjana pada Senin (9/9/2019)silam.
"Di mana motor saya?" ucap Zaenal dengan nada keras, dikutip dari Kompas.com, dilansir Sosok.ID, Senin (16/3/2020).
Kedatangan Zaenal secara tak baik-baik lantas memicu percekcokan.
Zaenal disebut secara tiba-tiba menyerang Bripka Nuzul menggunakan tangannya yang terkepal, memukul bagian pipi sebelah kiri dan hidung Bripka Nuzul secara bertubi-tubi.
Bripka Nuzul lantas dilarikan ke rumah sakit.
Sementara Zaenal terlibat perkelahian dengan para polisi.
Zaenal melakukan perlawanan dan aparat melakukan pembelaan diri.
Dalam perkelahian itu, Zaenal dikatakan oleh saksi mata, Ikhsan, bahwa ia sempat meminta maaf dan memohon agar tak dipukuli.
Namun pemukulan terus berlanjut, hingga Zaenal berhasil dilumpuhkandan tersungkur di lapangan apel.
Zaenal dibawa ke SPKT Polres Lotim dan sempat dilakukan pemeriksaan, sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.
Polisi lantas membawa Zaenal ke RSUD Selong untuk dilakukan pemeriksaan.
Nahas, nyawanya tak tertolong dan Zaenal dinyatakan meninggal dunia pada 9 September 2019.
Ayah Zaenal memilih putranya dipenjara
Ayah Zaenal, Sahabudin, warga asal Tanjung Selatan, Desa Parok Motong, Lombok Timur, datang ke rumah sakit usai dihubungi polisi.
Ia mendapatkan laporan bahwa anaknya lebih dulu menyerang karena persoalan tilang.
Ayah Zaenal tak kuasa melihat kondisi putranya yang babak belur penuh luka di bagian wajah, belakang leher dan bagian kaki.
Sahabudin mengatakan, lebih baik anaknya dipenjara ketimbang dianiaya sampai meregang nyawa.
“Awalnya, ibunya yang pergi dulu (ke rumah sakit), saya akan pergi selesai shalat Jumat, karena saya mengira anak saya sakit biasa,” ungkap Sahabudin, September silam.
“Dalam hati saya menyebutkan, lebih baik saya lihat Zaenal masuk penjara 10 tahun, daripada dipukul dan mati,” lanjutnya.
Sahab menyayangkan anaknya harus dipukuli sampai kehilangan nyawa.
Ia akan lebih ikhlas jika putranya dipenjara, asalkan masih hidup dan dapat bersua.
"Tidak bisa saya bayangkan bagaimana rupa anak saya itu jika saat dipukul. Dipenjara saja 10 tahun tidak apa-apa," ungkap Sahab, sambil menghela napas panjang.
Paman Zaenal tak sanggup berkata-kata
Safrudin, paman Zaenal, mengaku sedih melihat rekonstruksi kasus penganiayaan Zaenal.
Safrudin tak bisa membayangkan bagaimana penganiayaan yang menimpa Zaenal justru dilakukan oleh aparat penegak hukum.
"Iya saya lihat langsung tadi kejadiannya. Saya sangat sedih sekali, dan perihatin melihat tindakan-tindakan oknum polisi," ungkap Safrudin dengan mata berkaca-kaca di lokasi, Senin (9/12/2019).
Menurutnya, dengan kondisi Zaenal yang sudah parah, polisi tak perlu melanjutkan memukuli Zaenal.
Safrudi mengatakan, akan lebih baik jika polisi mengambil tindakan untuk memborgol tangan keponakannya, alih-alih memukulinya.
"Kenapa harus dilanjutkan pemukulan dan almarhum itu sepertinya tidak berdaya kok," ungkap Safrudin.
Diketahui, pada 9 Desember 2019, penyidik menggelar rekonstruksi adegan penganiayaan Zaenal di tempat kejadian perkara (TKP).
“Adegan sebanyak 29, terdiri dari tiga TKP, TKP satu (sebanyak) enam adegan, TKP dua (sebanyak) 16 adegan, dan TKP tiga sebanyak tujuh adegan,” ungkap ketua penyidik Iptu I Gusti Ngurah Bagus.
Ngurah menduga kuat, adegan yang membuat almarhum Zaenal mengalami luka parah ialah saat pemukulan dengan menggunakan traffic corn.
Sembilan polisi jadi tersangka
Dalam kasus ini, Polda NTB menetapkan 9 orang tersangka terkait kasus dugaan penganiayaan Zaenal.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Kristiadjie mengatakan, sembilan aparat yang menjadi tersangka berpangkat brigadir.
Dari sembilan tersangka, tujuh orang merupakan anggota Satuan Polisi Lalu Lantas (Satlantas).
Sementara dua orang masing-masing dari Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) dan anggota Polsek KP3 Polres Lombok Timur.
Sembilan oknum polisi tersebut yakni Ahmad Subhan, I Nengah Darta, Irwan Hadi, Muhammad Ali, Nuzul Huzaen, Lalu Awaludin, Bagus Bayu Astaman, Heri Wardana, I Wayan Merta Subagia.
Ibu Almarhum ingin melihat wajah pelaku penganiayaan
Ibu almarhum Zaenal Abidin, Rahmah, hadir di persidangan anaknya di Pengadilan Negeri Selong Lombok Timur, Senin (10/2/2020).
Rahmah ingin melihat wajah aparat yang telah memukuli putranya.
"Saya ingin melihat orang yang memukul anak saya samapai luka seperti itu," ungkap Rahmah usai persidangan.
Ia bahkan harus memohon pada petugas agar diizinkan ikut melihat tersangka.
"Tadi saya mohon-mohon supaya bisa ikut melihat siapa-siapa yang melakukan pemukulan itu. Sejak di Mataram itu saya ingin melihat muka mereka (tersangka)," kata Rahmah
Sementara sang ayah, Sahabuddin, berharap pelaku dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Harapan kami, mereka (pelaku) bisa dihukum seberat-beratnya," kata Sahabuddin.
Diancam Hukuman 15 Tahun Penjara
Dalam sidang dakwaan yang digelar Senin (10/2/2020) lalu, para tersangka datang menggunakan rompi merah dari Kejaksaan Negeri Lombok Timur.
Tersangka didakwa dengan Pasal 170 dan atau 3511 jo Pasal 55 KUHP, dengan ancaman 15 tahun penjara.
"Pasal yang dikenakan dari semua tersangka ini yakni dua pasal pertama Pasal 170 Ayat 2, dan yang kedua Pasal 351 Ayat 3 juncto Pasal 5 Ayat 1," ungkap Jaksa Penuntut Umum Sri Hariati.
Hariati menyebutkan, peran masing-masing 9 tersangka berbeda-beda, namun sangkaan pasal yang paling berat yakni Pasal 170. (*)