Sosok.id - Jan Koum adalah orang keturunan Ukraina, bekas Uni Soviet yang migrasi ke AS.
Koum bertemu dengan Acton pada 1997 saat keduanya sama-sama bekerja di Yahoo.
Sebelum bekerja di Yahoo, Koum pernah mengenyam pendidikan di universitas.
Dilansir dari akun Instagram @jobstreetindonesia, Koum keluar dari universitas karena ingin fokus bekerja di Yahoo.
Baca Juga: Meriam Si Jagur, Kisah dan Kontroversi Simbol Tangan Mengepal yang Dianggap Vulgar
Kala itu Yahoo adalah salah satu perusahaan besar dibidang teknologi dan banyak orang mendambakan untuk bisa bekerja di sana.
Namun saat itu Koum sangat benci dengan pekerjaannya yang mengurus mengenai Iklan.
Menurut @jobstreetindonesia, Pada tahun 2007 Koum undur diri dari Yahoo dan melamar ke Facebook, namun ditolak.
Setelah melihat peluang bisnis di App Store, kemudian ia dan temannya, Acton (Brian Acton) memiliki inisiatif untuk membuat aplikasi status tanpa iklan.
Baca Juga: Demi Sewa PSK dan Beli Narkoba, Pria Ini Tega Curi Uang Pengobatan Anaknya Sebesar Rp 2 Miliar
Acton dan Koum mendirikan perusahaan WhatsApp Inc. pada Februari 2009 di California.
WhatsApp awalnya merupakan penyedia layanan update status di ponsel, sebelum kemudian berubah menjadi pesan instan.
Dilansir dari kompas.com (1/5/18), pada 2014 Whatsapp dibeli oleh Facebook dengan nilai pembelian sebesar 19 Miliar dollar AS atau lebih dari RP 200 triliun.
Pasca akuisisi WhatsApp oleh Facebook pada 2014, dompet Koum memang menjadi sangat tebal.
Saham WhatsApp sebesar 45 persen yang dimilikinya diperkirakan bernilai 6,8 miliar dollar AS.
Kini, WhatsApp adalah aplikasi pesan instan terbesar di dunia dengan jumlah pengguna aktif bulanan mencapai 1,5 miliar, yang tercatat pada Januari 2018.
Namun, pada mei 2018 Jan Koum mengumumkan mundur dari Facebook, perusahaan yang telah membeli Whatsapp.
Ada apa di balik kepergian Koum dari WhatsApp?
Hengkangnya sang pendiri aplikasi pesan instan terpopuler sejagat ini disinyalir berkaitan dengan konflik soal kebijakan privasi pengguna antara WhatsApp dan induk semangnya, Facebook.
Sedari awal, Koum dan Acton mendirikan WhatsApp dengan fokus terhadap privasi pengguna dan menolak kehadiran iklan.
Koum pun berjani akuisisi oleh Facebook tak bakal berdampak pada prinsip WhatsApp.
Kebijakan itu diteruskan oleh Facebook sehingga WhatsApp hingga kini tidak menampilkan iklan.
Namun, lambat laun Facebook menekan WhatsApp untuk mulai menghasilkan uang.
Salah satu langkahnya dilakukan pada 2016, saat WhatsApp mengumumkan bakal memberikan nomor-nomor telepon penggunanya ke Facebook, untuk keperluan targeting iklan.
Hal ini berujung pada denda sebesar 122 juta dollar AS dari regulator di Uni Eropa.
Lalu, untuk pengembangan WhatsApp Business, Facebook disinyalir meminta WhatsApp menurunkan tingkat enkripsi end-to-end agar lebih mudah dipakai menerapkan aneka tools bisnis.
Padahal, enkripsi ini adalah fitur privasi andalan WhatsApp agar data pengguna tak bisa diintip oleh siapa pun, termasuk WhastApp dan Facebook sendiri.
Terakhir datanglah skandal Cambridge Analytica (CA).
Namun, keterangan sumber yang dirangkum KompasTekno dari TechCrunch, Selasa (1/5/2018) menyebutkan bahwa perselisihan antara Koum dan Facebook sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum skandal CA menyeruak.
Koum dikabarkan sudah berencana meninggalkan Facebook sejak setahun lalu.
Acton yang lebih dulu hengkang, kini berbalik menentang raksasa media sosial tersebut dengan terang-terangan mendukung gerakan #DeleteFacebook. (*)